My Foto

Jumat, 06 Februari 2009

PLURALITAS AGAMA

PLURALITAS AGAMA: TANTANGAN
BAGI MASA DEPAN AGAMA DAN DEMOKRASI*
Oleh M. Zainuddin*


Masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural ditinjau dari berbagai aspeknya, baik etnis, bahasa, budaya maupun agama. Menurut Heldred Geertz,[1] di Indonesia terdapat lebih dari tiga ratus etnis, masing-masing etnis memiliki budayanya sendiri dan lebih dari dua ratus lima puluh bahasa digunakan, dan hampir semua agama besar dunia terdapat di dalamnya selain dari ragam agama asli itu sendiri. Sementara Coward menegaskan, bahwa "pluralisme" merupakan sebuah fenomena yang tidak mungkin dihindari. Manusia hidup dalam "pluralisme" dan merupakan bagian dari "pluralisme" itu sendiri.[2] Tak pelak, pluralitas agama juga merupakan tantangan tersendiri bagi agama-agama dunia dewasa ini. Oleh sebab itu, jika pluralitas agama tidak disikapi secara benar dan arif oleh masing-masing pemeluk agama, maka akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa konflik antarumat beragama, tetapi juga konflik sosial dan disintegrasi bangsa.[3]
Dalam konteks Indonesia modern, Abu Rabi’[4] mengakui, bahwa Islam telah menjadi kekuatan nilai dalam menumbuhkan etos ”pluralisme” keagamaan sejak Indonesia merdeka. Namun, menurutnya, potensi untuk menjadi gerakan sosial yang mundur ke belakang dengan sentimen anti-Kristennya tetap terbuka lebar. Berbagai kecenderungan dan pola pemikiran keislaman yang muncul akhir-akhir ini menggambarkan posisi Islam yang berbeda-beda dalam berhadapan dengan komunitas agama lain. Oleh sebab itu menurut Rabi’, aspirasi politik-keagamaan yang berkembang akan tetap membuka peluang bagi tumbuhnya gerakan sosial Islam yang sulit menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, keterbukaan dan demokrasi, dan ini merupakan tantangan yang semakin nyata seiring dengan perkembangan wacana keagamaan pasca-modern.
Kendati agama memiliki fungsi pemupuk persaudaraan dan fungsi tersebut telah dibuktikan dengan fakta-fakta kongkret dari zaman ke zaman, namun di samping fakta yang positif itu terdapat pula fakta negatif, yaitu perpecahan antarmanusia yang bersumber pada agama.[5]
Jika ditinjau dari perspektif historis, kekerasan dan intoleransi yang terjadi selama ini justru dilakukan oleh pemeluk agama-agama monoteis. Pertanyaannya adalah, kenapa pemeluk agama monoteis justru inheren dengan intoleransi dan kekerasan? Menurut Rodney Stark,[6] claim pemeluk agama monoteisme yang partikularistk-subjektif [7] --bahwa agama yang dipeluknya adalah satu-satunya yang benar, yang hanya percaya pada satu Tuhan, Yang Esa dan Sejati (One True God)-- banyak memicu konflik. Stark menyoroti subjektivisme para pemeluk agama monoteistik (baik Yahudi, Kristen maupun Islam) yang memandang rendah agama lain. Melalui penelitiannya ia berkesimpulan, bahwa perbedaan agama dalam seluruh masyarakat berakar pada relung-relung sosial, kelompok-kelompok orang yang saling berbagi preferensi berkaiatan dengan intensitas keagamaan.[8] Menurut Stark, pluralitas agama merupakan keniscayaan dan pluralistas agama tersebut dalam orde sosial dapat menjadi stabil selama dalam organisasi-organisasi keagamaan tidak terdapat satu pun dari padanya yang terlalu kuat. Namun jika sebaliknya yang terjadi, maka sudah dapat dipastikan akan terjadi konflik yang intens. Stark sampai pada kesimpulan, bahwa konflik agama akan menjadi memuncak jika beberapa organisasi keagamaan yang kuat dan partikularistik hidup berdampingan.[9]
Dengan demikian, dalam konteks ini sedikitnya terdapat dua problem yang dihadapi oleh pemeluk agama dalam menghadapi tantangan agama ke depan: pertama, adalah problem pemahaman ajaran agama, dan yang kedua adalah problem politisasi agama. Tulisan ini ingin menyoroti dua problem di atas.

Pemahaman Ajaran Agama
Tantangan yang dihadapi umat beragama saat ini adalah menyangkut masalah kemanusiaan universal. Oleh sebab itu agama dituntut mampu memberikan jawaban terhadap problem kemanusiaan secara menyeluruh yang menyangkut keadilan, pemenuhan kesejahteraan, pelestarian alam dan sebagainya. Jika tidak, maka agama akan kehilangan pengaruhnya.
Ajaran agama harus dipahami secara benar dan digali makna subtansialnya. Isu-isu kontemporer mengenai: keadilan, HAM, demokratisasi dan segala macam jenis pemihakan masyarakat seharusnya dijadikan indikator keberhasilan dakwah agama. Karena dimensi agama tidak hanya bersifat teosentris, melainkan juga sarat dengan dimensi antroposentris. Agama diturunkan oleh Tuhan untuk manusia, sementara manusia tidak bisa lepas dari ketergantungan dengan manusia lain atau alam makro secara keseluruhan.
Memang dalam praktik keberagamaan sehari-sehari kita saksikan, bahwa antara iman dan amal saleh sering tampak tidak berimbang. Dengan kata lain, pengahyatan dalam nilai-nilai keimanan sering terpisahkan dengan peran sosialnya. Ini disebabkan dalam merumuskan pengertian iman dalam agama tidak mengkaitkan realitas empiriknya. Sementara di pihak lain antara nilai iman (ortodoksi) dan nilai amal (ortopraksis) dalam agama terlalu banyak mengalami kontradiksi dan gap. Akibatnya, dari ketidakseimbangan (gap) antara amal dan iman tadi memunculkan kritik terhadap agama dan pemeluknya, yang dilukiskan sebagai: agama yang egois, individualis, agama yang hanya sarat dengan doktrin sakral, praktik ritual, sabda mimbar, tidak memihak kaum lemah dan seterusnya. Padahal agama dikenal sebagai pembawa rahmat dan penyalamat umat, dan secara normatif, agama juga dianggap sebagai kontrol sosial, edukatif, dan pemersatu umat.
Dom H. Camara[10], seorang aktivis dan uskup agung, dalam karyanya, Spiral Kekerasan menyerukan agar semua umat beragama bersatu dan membuka kembali kitab sucinya masing-masing untuk menemukan ajaran kemanusiaan universal dalam rangka melawan musuh nyata ketidakadilan. Lalu aktivis Muslim, Asghar Ali Engineer[11] mengimbau perlunya memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia dengan menata kembali kehidupan sosial yang adil dan egaliter. Oleh sebab itu menurut Ali, orang beriman yang sejati adalah bukan hanya mereka yang mengucapkan kalimah syahadah, melainkan mereka yang menegakkan keadilan dan memperjuangkan kelompok yang tertindas (al-mustadh’afin). Untuk menuju ke arah kedamaian dan keutuhan umat, maka keadilan harus terus diperjuangkan.
Jika kita perhatikan secara serius baik secara normatif maupun historis dalam sejarah kerasulan, sesungguhnya musuh agama adalah ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Kalau masih ada ketidakadilan dan ketimpangan sosial di muka bumi ini maka menjadi tanggung jawab semua umat beragama. Karena pada dasarnya semua agama tidak menghendaki segala macam bentuk kezaliman. Di sinilah letak kebenaran universal agama itu. Semua ajaran agama menghendaki wujud kebaikan di masyarakat dan menentang semua bentuk kezaliman.
Dalam konteks Islam misalnya, tidak dikenal dikotomi antara domain duniawi dan domain agama. Nilai-nilai Islam pada dasarnya --meminjam istilah Kuntowijoyo--[12]bersifat all embracing bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, tugas terbesar Islam sesungguhnya adalah melakukan transformasi sosial dan budaya sesuai dengan nilai-nilai Islam yang humanis, rahmah.
Dalam pandangan Islam, orang yang masih membiarkan ketimpangan sosial (tidak peduli orang miskin, anak yatim dan orang yang terlantar dan tertindas) maka disebut sebagai pendusta dan penghianat agama (baca: QS. Al-Ma’un). Termasuk musuh agama adalah orang yang mengakumulasi kekayaan yang tak ada kemanfaatan bagi orang lain (lihat: QS. Al-Humazah). Oleh sebab itu bisa dipahami ketika nabi Muhammad pertama kali menyiarkan agama yang ditentang mati-matian oleh kafir Quraisy saat itu adalah karena beliau dianggap menghalang-halangi praktik akumulasi dan monopoli kekayaan para konglomerat Arab saat itu.
Agar agama tidak dijauhi oleh pemeluknya, maka agama harus mampu menjawab tantangan-tantangan yang semakin kompleks seiring dengan perubahan zaman yang semakin cepat. Tantangan-tantangan itu antara lain menyangkut: pemahaman ajaran agama dan politisasi agama. Sementara pluralitas agama bisa menjadi bagian khazanah bangsa, jika dipahami sebagai anugerah Tuhan, dengan cara menjalin kerjasama untuk membangun persatuan dan kesatuan antarumat beragama demi terwujudnya kemakmuran dunia. Jika pluralitas agama menemukan satu wadah visi maupun misi teologis yang sama, maka agama akan mampu menjawab berbagai tantangan yang akan dihadapai baik sekarang maupun mendatang.
Namun fenomena yang nampak selama ini adalah, agama lebih berorientasi pada status quo, ketimbang misi kemanusiaannya. Agama lebih cenderung berlindung di balik kepentingan para pejabat atau pemimipin formal agama. Oleh sebab itu, pengertian agama samawi-ardhi harus didudukkan secara benar. Agama yang benar adalah agama samawat wa-’l-ardh dalam arti ideal-real, terpadunya cita-cita dan realita, ibarat air yang turun dari gunung ke telaga, sejuk dan menyejukkan. Dengan begitu agama tidak berada di langit nun jauh di sana, tetapi ia membumi.
Bersamaan dengan ini pula maka reorientasi pendidikan agama di sekolah bagi terciptanya kesadaran sosial adalah sangat mendesak dilakukan. Dari kajian ini pula, sepintas kita telah memahami dimana letak kelebihan dan kekurangan model pendidikan agama yang diberlakukan oleh Departemen Agama selama ini. Perlu ada penelitian lanjut terhadap pesan-pesan materi yang tertuang dalam buku ajar yang merumuskan persoalan elementer kemanusiaan. Persoalan ini mesti segera dicarikan jalan keluarnya, sehingga doktrin-doktrin agama menjadi semakin bermakna bagi terciptanya kehidupan yang harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, agama yang dipentingkan bukan yang normatif-verbalistik, namun yang lebih penting dari itu semua adalah ruh, semangat dari agama itu sendiri, yaitu tegaknya moralitas dan kasih sayang. Karena dengan pendidikan model terakhir ini, diharapkan anak didik akan menjadi manusia yang memiliki kepribadian ideal, jiwa solidaritas yang tinggi, jujur, adil, jauh dari kekerasan dan konflik sosial. Orientasi pendidikan semacam ini juga akan terlihat secara jelas ketika dihadapkan pada kompleksitas dan pluralitas agama.
Di sini pluralitas agama yang ada di Indonesia harus menjadi kekuatan konstruktif-transformatif dalam model pendidikan kita. Potensi konstruktif-transformatif akan berkembang jika masing-masing komunitas agama memahami dan menjunjung tinggi nilai toleransi dan kerukunan melalui pendidikan agama dan keteladanan sikap seorang guru. Reorientasi pendidikan agama sudah saatnya dimulai dari SD hingga perguruan tinggi dengan mngevaluasi kurikulum kita yang selama ini dianggap kurang memenuhi syarat sebagai kurikulum yang berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas.

Politisasi Agama
Dalam The New Cold War: Religious Nationalism Confront in The Scular State, Mark Jurgensmeyer[13] mengatakan, bahwa tatanan Dunia Baru yang menggantikan kekuatan-kekuatan bipolar Perang Dingin masa lalu tidak hanya dicirikan oleh munculnya kekuatan-kekuatan ekonomi baru, ambruknya kerajaan-kerajaan kuno dan melemahnya komunisme, melainkan oleh bangkitnya identitas-identitas parokial yang didasarkan pada etnis dan kesetiaan agama.[14]
Sementara itu, E. Marty dan Appleby[15] menegaskan, bahwa runtuhnya komunisme di Eropa Barat dan terkoyaknya ideologi Marxis di Uni Soviet pada tahun 1990-an telah memunculkan spikulasi para pengamat politik tentang “musuh baru yang bakal dihadapi Amerika”. Kekuatan ideologi apa yang akan menjadi penghalang bagi tegaknya demokrasi liberal di negara-negara Barat menuju pembangunan dunia secara global? Jawabnya adalah, fundamentalisme agama.
Dalam konteks ini, Bassam Tibi[16] dalam The Challence of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder menilai, bahwa fundamentalisme Islam hanyalah satu jenis dari fenomena global dalam politik dunia dan sebuah gejala ideologi tentang “benturan peradaban”. Menurut Tibi, fundamentalisme dengan gaya agitasinya yang demikian, bukanlah sebuah solusi melainkan justru cenderung menciptakan chaos, karena ia terus-menerus mendorong konflik dan mempertajam fragmentasi budaya. Tibi menolak politisasi agama yang dilakukan oleh kelompok fundamentalisme. Alasannya, bahwa fundamentalisme lebih merupakan ideologi politik dari pada fenomena yang murni agama.
Bagaimana hubungan fundamentalisme Islam dengan kekerasan? Beberapa penulis Islam sendiri memang ada yang kritis terhadap penilaian fundamentalisme Islam ini. Tibi misalnya menilai, bahwa Islam sebagai agama bukanlah ancaman, tetapi fundamentalisme Islam sebagai sebuah ancaman adalah benar, bahkan dalam sekala besar sekalipun, dan ia merupakan tantangan politik
Senada dengan Tibi, dalam konteks konfrontasi Islam dengan peradaban Barat, Soroush[17] mengkhawatirkan adanya kaum Muslimin yang menjadikan Islam sebagai sebuah identitas. Soroush menilai, bahwa salah satu penyakit teoretis di Dunia Islam yang paling berat --pada umumnya-- adalah bahwa orang lebih memahami Islam sebagai identitas dari pada sebagai kebenaran. Selanjutnya ia mengatakan, bahwa orang Islam mempunyai identitas dan peradaban itu memang benar, tetapi mereka tidak boleh menggunakan Islam demi kepentingan identitas dan peradaban tersebut (baca: politisasi agama atau Islam politik). Islam identitas harus tunduk pada Islam sebagai kebenaran, karena Islam sebagai kebenaran bisa berdampingan dengan kebenaran-kebenaran lain, sedangkan Islam identitas cenderung berseteru. Islam identitas menurut Soroush adalah Islam perang, bukan Islam damai. [18]
Persoalan di atas memang tidak lepas dari perdebatan klasik mengenai: “apakah Islam sebagai sebuah ajaran dalam al-Qur’an", atau sekaligus "sebagai ideologi politik”. Di satu sisi, sebagian kelompok Islam memahami, bahwa Islam tidak bisa lepas dari urusan politik, Islam adalah agama dan sekaligus juga politik (al-Islam Din wa Daulah). Sementara pada sisi lain, sebagian kelompok memahami Islam hanyalah sebuah agama, yang terpisah dari usrusan politik. Kelompok Islam politik (al-Islam al-siyasy) ini misalnya diwakili oleh Ayatullah Khumaini dan kawan-kawan dengan revolusinya yang menggegerkan dunia serta karya populernya, Kasyf al-Gayb. Sementara Islam a politik (al-lasiyasy) diwakili oleh Ali Abd. Al-Raziq dengan karya populernya, al-Islam wa Ushul al-Hukm dan kawan-kawan.[19] Dua pandangan di atas juga mewarnai kehidupan keberagamaan di bebagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Di Indonesia, Islam identitas direpresentasikan oleh kelompok-kelompok organisasi Islam seperti FPI, HTI dan PKS, sementara kelompok Islam non-politik seperti yang terlihat pada ormas Islam NU dan Muhammadiyah.

Agama dan Demokrasi
Bagaimana relasi agama dan demokrasi? Jika dilihat dari basis normatifnya, memang agama dan demokrasi berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya sendiri. Namun begitu menurut Aswab Mahasin, [20] tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi.
Dalam konteks Islam, elemen-elemen pokok demokrasi meliputi: as-syura, al-musawah, al-‘adalah, al-amanah, al-masuliyyah dan al-hurriyyah. Secara normatif memang cukup banyak ayat al-Qur’an yang menyebutkan prinsip-prinsip utama demokrasi, antara lain QS. Ali Imran: 159 dan al-Syura: 38 (yang berbicara tentang musyawarah); al-Maidah: 8; dan al-Syura: 15 (tentang keadilan); al-Hujurat: 13 (tentang persamaan); al-Nisa’: 58 (tentang amanah); Ali Imran: 104 (tentang kebebasan mengkritik); al-Nisa’: 59, 83 dan al-Syuro: 38 (tentang kebebasan berpendapat) dst.[21] Pertanyaannya kemudian, bagaimana realitas demokrasi di dunia Islam? Masalah ini dijawab oleh Huntington dan Fukuyama,[22] dengan menegaskan, “bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak compatible dengan demokrasi”.
Dalam realitas sejarah Islam, memang ada pemerintahan otoriter yang dibungkus dengan baju Islam seperti pada praktik-praktik yang dilakukan oleh sebagian penguasa Bani Umayyah dan Bani ‘Abbasiyyah. Dan memang harus diakui, bahwa pasca Nabi dan khulafaurrasyidin --karena kepentingan dan untuk melanggengkan status quo raja-raja Islam-- demokrasi sering dijadikan tumbal. Seperti pengamatan Mahasin17, bahwa di beberapa bagian negara Arab misalnya, Islam seolah-olah mengesankan pemerintahan raja-raja yang korup dan otoriter. Demikian pula realitas yang dialami oleh pemeluk agama lain. Gereja Katolik misalnya, bersikap acuh-takacuh ketika terjadi revolusi Perancis. Karena sikap tersebut, kemudian agama Katolik disebut sebagai tidak demokratis. Hal yang sama ternyata juga dialami oleh agama Kristen Protestan, dimana pada awal munculnya, dengan reformasi Martin Luther, Kristen memihak elit ekonomi, sehingga merugikan posisi kaum tani dan buruh. Tak mengherankan kalau Kristen pun disebut tidak demokratis. Oleh sebab itu statement Huntington maupun Fukuyama yang mengatakan bahwa secara empirik Islam tidak compatible dengan demokrasi sebetulnya tidak hanya terjadi pada masyarakat Islam saja, tetapi juga agama lain.
Dengan demikian, betapa sulitnya menegakkan demokrasi, yang di dalamnya menyangkut soal: persamaan hak, kebebasan berpendapat, penegakan keadilan, musyawarah, amanah dan tanggung jawab. Sulitnya menegakkan praktik demokratisasi dalam suatu negara oleh penguasa di atas, seiring dengan kompleksitas problem dan tantangan yang dihadapinya, dan lebih dari itu adalah menyangkut komitmen dan moralitas penguasa itu sendiri. Dengan demikian, memperhatikan relasi antara agama dan demokrasi dalam sebuah komunitas sosial menyangkut banyak variabel, termasuk variabel independen non-agama.
Memang ada masalah dengan nilai-nilai ajaran agama kita yang idealistik dengan kenyataan empirik dalam kehidupan kita sehari-hari, baik dalam lingkungan kerja kita maupun dalam masyarakat secara umum. Selain itu, persoalan besar yang dihadapi manusia multi-kultural sekarang ini juga tidak lepas dari tema tersebut. Agama-agama di dunia saat ini dihadapkan pada tantangan kemanusiaan universal. Mampukah agama menjawab problem kemanusiaan universal ini? Termasuk Islam?
Agama sendiri memiliki peran sebagai pembimbing manusia ke jalan yang benar, ia berisikan aturan-aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitar. Dengan aturan-aturan itu diharapkan terpelihara ketenteraman dunia, dan manusia akan memperoleh kebahagiaan tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Logikanya, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini seharusnya terjamin kedamaian dan tertib sosial kita, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama dan Negara kita adalah Negara yang bukan sekuler. Tetapi mengapa kenyataannya berbalik? Di mana peran agama sebagai motivator dan penggerak pembangunan? Inilah tantangan yang kita hadapi bersama. Oleh sebab itu menurut hemat saya, agama mampu menjadi kekuatan riil dan positif di dunia sekarang ini, jika ajaran-ajarannya diimplementasikan dalam masyarakat dengan mengedepankan nilai-nilai etik dan sosialnya, misalnya mengembangkan nilai-nilai demokrasi, HAM, kemanusiaan universal dan seterusnya @








BIBLIOGRAFI




Abd al-Baqi, Muhammad Fuad, al-Mu’jam al-Mufahras li alfaz al-Qur’an al-Karim, (Libanon, Dar al-Ihya’ al-Turats).
Abu Rabi’, “Christian-Muslim Relations in Indonesia: The Challenges of The Twenty-First Century” Jurnal Studia Islamika (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1998)
Ahmad, Akbar S. Citra Muslim, Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, terjemahan Nunding Ram dan Ali Yaqub (Jakarta, Erlangga,1992).
Akbar S Ahmed, Citra Muslim, Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, terjemahan Nunding Ram dan Ali Yaqub (Jakarta:Erlangga,1992).
Ali, Asghar, Islam Pembebasan (Yogyakarta, LKIS,1993).
Aziz, Imam et.al., (ed). Agama, Demokrasi dan Keadilan (Jakarta, Gramedia. 1999).
Camara, Dom Heder. Spiral Kekerasan, (Yogyajarta, Pustaka Pelajar. 2000).
Coward, Harold, Pluralisme dan Tantangan Agama-Agama (Yogyakarta, Kanisius,1989).
Coward, Harold,”Religious Pluralism and the Future of Religions” dalam Thomas Dean (ed), Religious Pluralism and Truth Essays on Cross Cultural Philosophy of Religion (State University of New York Press, 1995).
Eicklelman, Dale F. dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim (Bandung: Mizan, 1998).
Esposito, John L., Dialektika Peradaban: Modernisme Politik dan Budaya di Akhir Abad ke-20 (Yogyakarta: Qalam, 2002).
Hick, John Problem of Religious Pluralism. (London: The Macmillan Press, 1985).
Huntington, Samuel P. Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia (Yogyakarta: Qalam, 2003).
Jawa Pos, (28 Mei 1990).
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan 1991),
Mahasin, Aswab dalam Imam Aziz, et.al., (ed). Agama, Demokrasi dan Keadilan (Jakarta, Gramedia. 1999).
Marty E. dan Appelby, Fundamentalism and the State (University of Chicago Press. 1991).
Soroush, Abdul Karim Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terjemahan Abdullah Ali (Bandung: Mizan, 2003).
Stark, Rodey, One True God: Resiko Sejarah Bertuhan Satu, terjemahan M. Sadat Ismail (Yogyakarta: Qalam, 2003).
Suseno, Frans Magnis, “The Challenge of Pluralism” dalam Kamaruddin Amin et.al., Quo Vadis Islamic Studies di Indonesia? (Diktis Depag RI bekserjasama dengan PPs UIN Alauddin Makassar, 2006)
Tibi, Bassam, Islam and Cultural Accomodation of Social Change (Boulder, San Fransisco & Oxford: Westview Press, 1991).
Tibi, Bassam, The Challence of Fundamentalism: political Islam and the New World Disorder (University of California Press, 1998).
Tracy, David Plurality and Ambiguity, Hermeneutic, Religion, Hope, (University of Chicago Press, 1987).
Zada, Hamami. “Agama dan Etnis: Tantangan Pluralisme di Indonesia” dalam Sururin dan Maria Ulfa (ed), Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam (Jakarta: Nuansa-Fatayat NU-Ford Foundation, 2006).
Zainuddin M., "Pluralisme dan Dialog Antaragama” dalam Jurnal Media Philosophica-Theologia, IPTH Malang, Vol.5 N0 1, Maret 2005.
Zainuddin M., Kesalehan Normatif dan Kesalehan social (Malang: UIN-Malang Press, 2007).
























* Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional, tentang Pluralitas Agama di Era Inodensia Kontemporer (Masalah dan Pengaruhnya Bagi Masa Depan Agama dan Demokrasi), diselenggarakan oleh LKQS UIN Malang, 15 Desember 2007.
* M. Zainuddin, adalah Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Malang.
[1] Hamami Zada, “Agama dan Etnis: Tantangan Pluralisme di Indonesia” dalam Sururin dan Maria Ulfa (ed), Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam (Jakarta: Nuansa-Fatayat NU-Ford Foundation, 2006), 184
[2] Coward, Pluralisme dan Tantangan Agama-Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 167. Lihat pula Coward, ”Religious Pluralism and the Future of Religions” dalam Thomas Dean (ed), Religious Pluralism and Truth Essays on Cross Cultural Philosophy of Religion (State University of New York Press, 1995), 45. Bandingkan dengan Frans Magnis Suseno, “The Challenge of Pluralism” dalam Kamaruddin Amin et.al., Quo Vadis Islamic Studies di Indonesia? (Diktis Depag RI bekserjasama dengan PPs UIN Alauddin Makassar, 2006), 13.
[3] Dalam pembahasan ini saya menggunakan istilah pluralitas, bukan pluralisme, karena keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Pluralitas berarti realitas, kenyataan yang mesti ada, sementara pluralisme suatu paham tentang kesatuan agama-agama. Lebih jauh lihat M. Zainuddin, "Pluralisme dan Dialog Antaragama” dalam Jurnal Media Philosophica-Theologia, IPTH Malang, Vol.5 N0 1, Maret 2005.
[4] Abu Rabi’, “Christian-Muslim Relations in Indonesia: The Challenges of The Twenty-First Century” Jurnal Studia Islamika (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1998), 2.
[5] Pada dekade 1980-an hingga saat ini prakarsa untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama dan sosialisasi pemahaman pluralitas ini pun terus dilakukan, baik oleh elit agama, intelektual muda maupun pemerintah sendiri, misalnya dialog yang diselenggarakan oleh International Conference on Religion and Peace (ICRP) yang diprakarsai oleh Djohan Effendi dan kawan-kawan, dialog kelembagaan (Institutional Dialogue), yakni dialog antar delegasi berbagai organisasi agama yang melibatkan majelis-majelis agama yang diakui pemerintah, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Darma dan Perwalian Umat Budha Indonesia (WALUBI) dan seterusnya, dialog berwacana transformatif yang sering dilakukan oleh kalangan intelektual atau LSM seperti Institute for Interfaith Dialogue in Inonesia atau Dialog Antar Iman (Interfidei/DIAN), Paramadina, Lembaga Kajian islam dan Sosial (LKiS) di Yogyakarta, Lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (LP3M) di Jakarta, Masyarakat Dialog Antar Agama (MADIA), dan lain-lain. Tetapi kenyataannya, ketegangan dan kerusuhan yang disebabkan oleh sentimen keagamaan (Islam-Kristen) di beberapa daerah, seperti di Situbondo, Tasikmalaya, Ketapang, Kupang, Ambon, Poso, Maluku dan seterusnya yang mengakibatkan hancurnya tempat-tempat ibadah seperti masjid, mushalla, dan gereja semakin bertambah parah kondisinya. Padahal upaya Pemerintah RI. dalam menyelesaikan masalah konflik di Poso, yang melahirkan wadah yang bernama Perundingan Malino I dan ditindaklanjuti dengan Perundingan Malino II untuk penyelesaikan konflik Maluku terus digalang. Dengan perundingan Malino II ini diharapkan menghasilkan kemanfaatan yang berarti bagi terciptanya perdamaian dan kerukunan hidup antarumat beragama di Indonesia. Tetapi upaya inipun, sebagaimana yang kita saksikan bersama, belum juga mampu mengatasi dan mencegah timbulnya kembali konflik antarumat beragama. Fenomena di atas menunjukkan adanya kesenjangan (gap) antara idealitas agama (das sollen) sebagai ajaran dan pesan-pesan suci Tuhan dengan realitas empirik yang terjadi dalam masyarakat (das sein).
[6]Stark, Rodey, One True God: Resiko Sejarah Bertuhan Satu, terjemahan M. Sadat Ismail, (Yogyakarta: Qalam, 2003), 171-173, 183.
[7]Sebagaimana yang diungkap oleh John Hick, bahwa klaim absolutisme dilakukan oleh semua agama, baik Islam, Kristen Hindu maupun Yahudi. Lihat John Hick, Problem of Religious Pluralism. (London: The Macmillan Press, 1985), 46, David Tracy, Plurality and Ambiguity, Hermeneutic, Religion, Hope. (University of Chicago Press, 1987).

[8] Penegasan Stark nampak sekali hendak menyeru orang beragama mengikuti pandangan pluralisme. Menurut penulis, jika hanya berhenti pada claim absolutis tidak menjadi soal, namun masalah akan timbul ketika claim absolutis dibarengi dengan memandang rendah dan memaksa orang lain untuk mengikuti agamanya.
[9] Stark, One True God One…76,181.

[10] Dom Heder Camara, Spiral Kekerasan (Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 2000).
[11] Asghar Ali, Islam Pembebasan (Yogyakarta, LKiS,1993), 29, 80.

[12] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan 1991), 167.

[13]John Naisbit dan Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000-nya juga memprediksikan munculnya sepuluh kecenderungan dalam dasawarsa sembilan puluhan, termasuk salah satunya adalah adanya kebangkitan agama Bangkitnya agama-agama (revival of the relegions) di dunia ini semakin membukakan mata ketika terjadi keambrukan ideologi komunis di Eropa Timur utamanya Soviet. Apakah ini merupakan the end of ideology seperti yang pernah diramalkan oleh Daniel Bell itu? Pertanyaan berikutnya, apakah agama sudah menjadi alternatif yang sungguh-sungguh sekarang ini, sehingga sampai pernah muncul polemik tentang agama-agama pasca ideologi? (Lihat: Oetama, 1990:ix dan Jawa Pos, 28 Mei 1990).
[14]Jurgensmeyer tidak memakai istilah ini sebagai fundamentalisme, tetapi ia lebih suka memakai istilah “nasionalisme agama”. Hal ini didasarkan pada tiga alasan: pertama, istilah fundamentalisme lebih banyak merupakan tuduhan dari pada deskripsi; kedua, fundamentalisme adalah sebuah kategori yang tidak tepat untuk membuat perbandingan antarbudaya; ketiga, fundamentalisme mendeskripsikan sikap- yang semata-mata termotivasi oleh kepercayaan agama daripada masalah-masalah yang luas tentang watak masyarakat dan dunia.
[15]E. Marty dan Appleby Marty E. dan Appelby, Fundamentalism and the State (University of Chicago Press. 1991).

[16]Bassam Tibi, The Challence of Fundamentalism: political Islam and the New World Disorder, (University of California Press, 1998).
[17]Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terjemahan Abdullah Ali, (Bandung: Mizan, 2003), 32-34.

[18]Adalah pemikir Islam modern, Mohammed Arkoun mencoba memberikan istilah fundamentalisme ini dengan ungkapan yang berbeda, yaitu: Ushulawy atau Ushulawiyah (menggunakan huruf w/wawu). Arkoun menggunakan dua istilah baru: Islamawy atau Islamawiyah untuk islamisme dan Ushulawy atau Ushulawiyah untuk fundamentalisme. Menurut Arkoun, Islamawy/Islamawiyah bermakna penggunaan keyakinan atau pandangan pemikiran secara berlebihan. Adapun istilah Islamy (tanpa w) bermakna adanya kesederhanaan sikap yang tetap fleksibel dan inklusif dalam aspek pemikiran dan intelektualitas. Menurut Arkoun, pejuang Islamawy/Islamawiyah menggunakan ungkapan secara leksikal/ harfiah untuk tujuan politisnya dan mengambil unsur dari sana sini untuk mempermainkan imajiner politis para pejuang yang bertujuan untuk memobilisir rakyat. Seperti juga istilah Islamy, istilah Ushuly, menurut Arkoun, mengacu kepada sesuatu yang positif dan mendorong kita kepada sejarah pemikiran Islam di saat munculnya literatur ushul, yaitu Ushul al-Din dan Ushul al-Fiqh (Lihat Arkoun dalam Jauhari et.al., 1999: 67-68). Menurut Arkoun, penilaian yang keliru terhadap wacana fundamentalisme ini sudah lama dilakukan oleh pengamat Barat dan termasuk juga pengamat Islam sendiri. Para orientalis dan Barat pada umumnya selalu memandang Islam sebagai agama kekerasan dan identik dengan gerakan teroris. Oleh sebab itu istilah fundamentalisme, hemat penulis, harus dibongkar atau didefinisikan ulang. Penamaan sebuah gerakan Islam yang tidak tepat justru akan berakibat fatal terhadap Islam itu sendiri. Fundamentalisme Islam yang selama ini dikaitkan dengan gerakan kekerasan, teror atau pemberontakan adalah kekeliruan besar dan mereduksi nilai Islam itu sendiri. Menurut penulis, justru istilah fundamentalisme dan radikalisme lebih tepat diberikan kepada pemikir Islam seperti: Mohammed Arkoun, Hassan Hanafi, Al-Naim, Ashgar Ali, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, yang selama ini disebut sebagai neo-medernis, karena mereka memiliki pemikiran keislaman yang mendasar (fundamental) dan mendalam (radix), bukan seperti sekelompok orang yang secara intelektual-keislaman masih belum dikenal dan belum menguasai banyak khazanah Islam klasik. Oleh sebab itu pemikiran fundamentalis lebih identik dengan pemikiran substansialis. Dengan begitu maka gerakan fundamentalisme adalah gerakan inklusivisme, tidak sebaliknya, yang selama ini berkonotasi ekslusif dan tekstualis-skripturalis.

[19]Untuk ini lihat Esposito, Islam in Transition, Dale F. Eicklelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim (Bandung: Mizan, 1998).

[20]Lihat Aswab Mahasin dalam Imam Aziz, et.al., (ed), Ibid.

[21] Abd al-Baqi, Muhammad Fuad, al-Mu’jam al-Mufahras li alfaz al-Qur’an al-Karim, Libanon, Dar al-Ihya’ al-Turats.


[22]Imam Aziz, et.al. (ed). Agama, Demokrasi dan Keadilan (Jakarta, Gramedia. 1999), 30.

Tidak ada komentar: