My Foto

Jumat, 06 Februari 2009

ISLAM RAHMAH

MENEGAKKAN ISLAM RAHMAH
Oleh M. Zainuddin, MA.*


Tema International Conference of Islamic Scholars (ICIS) ke-2 yang digelar PBNU tahun lalu adalah tentang diskursus penting: Upholding Islam as Rahmatan Lil-‘alamin. Tema ini memang tidak pernah usang, karena substansi dan proyek garapan besar Islam adalah persoalan concern dan komitmen kemanusiaan. Selain itu, persoalan besar yang dihadapi manusia multi-kultural sekarang ini juga tidak lepas dari tema tersebut. Agama-agama di dunia saat ini dihadapkan pada tantangan kemanusiaan universal. Mampukah agama menjawab problem kemanusiaan universal ini? Termasuk Islam?
Sebagai sebuah ajaran, Islam dikenal sebagai agama yang sangat humanis, bahkan konsep tauhid --sebagai dimensi ideal-transendental dalam ajaran Islam-- tidak boleh dipisahkan dari kehidupan sosialnya. Tetapi sayangnya, secara empiris dalam masyarakat, ajaran yang humanis dan menekankan nilai-nilai sosial ini tidak nampak kental dalam masyarakat muslim, justru yang terjadi sebaliknya. Ada kesenjangan antara nilai-nilai agama yang bersifat ideal dengan nilai-nilai sosialnya. Orang Islam lebih tersinggung jika agamanya “dilecehkan”, sementara tidak tersinggung jika ada ketimpangan sosial di mana-mana.
Oleh sebab itu Abdul Karim Soroush menilai, bahwa salah satu penyakit teoretis di dunia Islam yang paling berat pada umumnya adalah, bahwa orang lebih memahami Islam sebagai identitas dari pada sebagai kebenaran. Menurutnya, bahwa orang Islam mempunyai identitas dan peradaban memang benar, tapi mereka tidak boleh menggunakan Islam demi kepentingan identitas dan peradaban tersebut (baca: politisasi agama atau Islam politik). Islam identitas harus tunduk pada Islam sebagai kebenaran, karena Islam sebagai kebenaran bisa berdampingan dengan kebenaran-kebenaran lain, sedangkan Islam identitas cenderung berseteru. Islam identitas menurut Soroush adalah Islam perang, bukan Islam damai.
Kesenjangan ortodoksi dan ortopraksis (iman dan amal saleh) dalam kehidupan masyarakat disebabkan karena dalam merumuskan pengertian iman dalam agama tidak mempertautkan dengan kondisi sosial sebagai gambaran implikasinya secara praktis. Akibatnya, memunculkan kritik terhadap agama dan pemeluknya, yang dilukiskan sebagai: agama yang egois, individualis, agama yang hanya sarat dengan doktrin sakral, praktik ritual, sabda mimbar, tidak memihak kaum lemah dan seterusnya. Padahal agama (baca: Islam) secara normatif-idealistik dikenal sebagai pembawa rahmat dan penyalamat umat.
Islam memberikan tuntunan hidup manusia dari persoalan yang paling kecil hingga kepada urusan yang paling besar, mulai dari urusan rumah tangga, tidur, makan dan minum sampai pada urusan bangsa dan negara. Islam is indeed much more than a system of theology its complete civilization, demikian pengakuan HAR. Gibb.
Islam mengandung nilai humanisme, yaitu agama yang sangat mementingkan kemaslahatan umat sebagai tujuan sentral. Humanisme Islam adalah humanisme teosentrik, artinya ia merupakan sebuah agama yang memusatkan dirinya pada keimanan terhadap Tuhan, tetapi sekaligus mengarahkan perjuangannya pada kemuliaan peradaban manusia. Prinsip humanisme-teosentrik inilah yang kemudian harus ditransformasikan dalam masyarakat dan budaya.
Fakta bahwa Islam lebih dari sekadar sebuah agama formal, tetapi juga risalah yang agung bagi transformasi sosial dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi (vested interest) telah dibuktikan oleh penekanannya pada shalat dan zakat. Dalam kebanyakan ayat al-Al-Qur’an, shalat tidak pernah disebutkan tanpa diiringi dengan zakat. Orang yang selalu menumpuk kekayaan dan tidak mau mengeluarkan zakatnya dicap sebagai orang yang arogan (al-mustakbirin).
Secara alamiah Islam dimulai dari gerakan moral dan kemanusiaan. Seperti pengakuan Nabi sendiri dia diutus oleh Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak manusia (Innama Buistu Li utammimma Husn al-Akhlaq). Gerakan yang dilakukan oleh Nabi dalam membangun masyarakat Madinah saat itu berorientasi pada masalah-masalah pembangunan umat dan pembinaan masyarakat yang bebas dari eksploitasi, dominasi dan ketidakadilan dalam bentuk apapun.
Seperti ungkap Asghar Ali (1993: 89), ketika al-Qur’an secara tegas mengutuk penindasan dan ketidakadilan, maka perhatiannya terhadap wujud ordo-sosial yang egaliter tidak bisa disangkal lagi. Karena itu menurut Ali --terlepas dari signifikansinya-- istilah-istilah al-Qur’an juga mempunyai konotasi-konotasi sosial-ekonomi. Dengan demikian, term kafir dalam al-Qur’an tidak hanya bermakna ingkar terhadap Tuhan, malainkan secara tidak langsung juga menentang terhadap keadilan dan kejujuran yang seharusnya diwujudkan dalam suatu masyarakat. Orang yang mengaku beriman kepada Allah harus menunjukkan keberpihakannya (komitmen) terhadap orang-orang yang lemah (al-mustadh’afin) seperti: anak-anak yatim, orang miskin dan orang terlantar dan menegakkan keadilan di muka bumi ini.
Di dalam struktur keagamaan Islam, tidak dikenal dokotomi antara domain duniawi dan domain agama. Nilai-nilai Islam pada dasarnya --meminjam istilah Kuntowijoyo (1991:167)-- bersifat all embracing bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, tugas terbesar Islam sesungguhnya adalah melakukan transformasi sosial dan budaya sesuai dengan nilai-nilai Islam yang humanis tadi.
Di dalam Al-Qur’an, kita sering kali membaca seruan agar manusia itu beriman dan kemudian beramal. Dalam surat al- Baqarah ayat kedua misalnya, disebutkan bahwa agara manusia itu menjadi Muttaqin, pertama-tama yang harus dia miliki adalah iman, “percaya kepada yang ghaib”, kemudian mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Di dalam ayat tersebut kita melihat adanya trilogi: iman-shalat-zakat; sementara dalam formulasi lain, kita juga mengenal trilogi iman-ilmu-amal. Dengan memperhatikan struktur al-Qur’an ini kita dapat menyimpulkan bahwa iman berujung pada amal atau aksi. Artinya, tawhid harus diaktualisasaikan. Sentral teologi Islam memang Tuhan, tetapi ujung aktualilsasinya adalah manusia. Dengan demikian, Islam menjadikan tawhid sebagai pusat dari semua orientasi nilai, sementara pada saat yang sama melihat manusia sebagai tujuan dari transformasi nilai. Dalam konteks inilah Islam disebut sebagai rahmatal lil ‘alamin, rahmat yang menjagat, termasuk rahmat bagi semua manusia, beyond priomordialisme dan sektarianisme.
Bahkan jika dicermati secara serius dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun as-Sunnah, niscaya akan kita temukan dua inti ajaran Islam, yaitu iman dan amal saleh. Iman adalah pengakuan yang serius bahwa Allah SWT adalah Tuhan satu-satunya yang harus disembah dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan (Rasul)-Nya. Iman harus kokoh dan dibangun lebih dulu, sebab kalau tidak, akan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan manusia. Iman yang benar pasti akan melahirkan perbuatan dan sikap tingkah laku yang positif (amal saleh). Sebab percaya kepada Allah SWT (dan juga Rasul-Nya) berarti percaya dan patuh dengan semua aturan-aturannya. Dengan demikian antara iman dan amal dalam ajaran Islam harus integrated. Persoalan relasi antara sistem keimanan dengan sistem sosial dalam ajaran Islam yang tidak bisa dipisahkan keduanya, ditegasakan dalam beberapa surat dan ayat al-Qur’an, misalnya saja dalam QS. Al-‘Ashr, At-Tin, Ar-Ra’d, An-Nisa’:36-37 dan Al-An’am:151. Ini artinya, betapa keras anjuran agama kepada manusia untuk selalu melaksanakan amal saleh dalam hidup ini, berbuat kebajikan dan berlaku benar.



____________
*Penulis adalah Dosen UIN Malang

Tidak ada komentar: