My Foto

Jumat, 06 Februari 2009

PLURALITAS AGAMA

PLURALITAS AGAMA: TANTANGAN
BAGI MASA DEPAN AGAMA DAN DEMOKRASI*
Oleh M. Zainuddin*


Masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural ditinjau dari berbagai aspeknya, baik etnis, bahasa, budaya maupun agama. Menurut Heldred Geertz,[1] di Indonesia terdapat lebih dari tiga ratus etnis, masing-masing etnis memiliki budayanya sendiri dan lebih dari dua ratus lima puluh bahasa digunakan, dan hampir semua agama besar dunia terdapat di dalamnya selain dari ragam agama asli itu sendiri. Sementara Coward menegaskan, bahwa "pluralisme" merupakan sebuah fenomena yang tidak mungkin dihindari. Manusia hidup dalam "pluralisme" dan merupakan bagian dari "pluralisme" itu sendiri.[2] Tak pelak, pluralitas agama juga merupakan tantangan tersendiri bagi agama-agama dunia dewasa ini. Oleh sebab itu, jika pluralitas agama tidak disikapi secara benar dan arif oleh masing-masing pemeluk agama, maka akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa konflik antarumat beragama, tetapi juga konflik sosial dan disintegrasi bangsa.[3]
Dalam konteks Indonesia modern, Abu Rabi’[4] mengakui, bahwa Islam telah menjadi kekuatan nilai dalam menumbuhkan etos ”pluralisme” keagamaan sejak Indonesia merdeka. Namun, menurutnya, potensi untuk menjadi gerakan sosial yang mundur ke belakang dengan sentimen anti-Kristennya tetap terbuka lebar. Berbagai kecenderungan dan pola pemikiran keislaman yang muncul akhir-akhir ini menggambarkan posisi Islam yang berbeda-beda dalam berhadapan dengan komunitas agama lain. Oleh sebab itu menurut Rabi’, aspirasi politik-keagamaan yang berkembang akan tetap membuka peluang bagi tumbuhnya gerakan sosial Islam yang sulit menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, keterbukaan dan demokrasi, dan ini merupakan tantangan yang semakin nyata seiring dengan perkembangan wacana keagamaan pasca-modern.
Kendati agama memiliki fungsi pemupuk persaudaraan dan fungsi tersebut telah dibuktikan dengan fakta-fakta kongkret dari zaman ke zaman, namun di samping fakta yang positif itu terdapat pula fakta negatif, yaitu perpecahan antarmanusia yang bersumber pada agama.[5]
Jika ditinjau dari perspektif historis, kekerasan dan intoleransi yang terjadi selama ini justru dilakukan oleh pemeluk agama-agama monoteis. Pertanyaannya adalah, kenapa pemeluk agama monoteis justru inheren dengan intoleransi dan kekerasan? Menurut Rodney Stark,[6] claim pemeluk agama monoteisme yang partikularistk-subjektif [7] --bahwa agama yang dipeluknya adalah satu-satunya yang benar, yang hanya percaya pada satu Tuhan, Yang Esa dan Sejati (One True God)-- banyak memicu konflik. Stark menyoroti subjektivisme para pemeluk agama monoteistik (baik Yahudi, Kristen maupun Islam) yang memandang rendah agama lain. Melalui penelitiannya ia berkesimpulan, bahwa perbedaan agama dalam seluruh masyarakat berakar pada relung-relung sosial, kelompok-kelompok orang yang saling berbagi preferensi berkaiatan dengan intensitas keagamaan.[8] Menurut Stark, pluralitas agama merupakan keniscayaan dan pluralistas agama tersebut dalam orde sosial dapat menjadi stabil selama dalam organisasi-organisasi keagamaan tidak terdapat satu pun dari padanya yang terlalu kuat. Namun jika sebaliknya yang terjadi, maka sudah dapat dipastikan akan terjadi konflik yang intens. Stark sampai pada kesimpulan, bahwa konflik agama akan menjadi memuncak jika beberapa organisasi keagamaan yang kuat dan partikularistik hidup berdampingan.[9]
Dengan demikian, dalam konteks ini sedikitnya terdapat dua problem yang dihadapi oleh pemeluk agama dalam menghadapi tantangan agama ke depan: pertama, adalah problem pemahaman ajaran agama, dan yang kedua adalah problem politisasi agama. Tulisan ini ingin menyoroti dua problem di atas.

Pemahaman Ajaran Agama
Tantangan yang dihadapi umat beragama saat ini adalah menyangkut masalah kemanusiaan universal. Oleh sebab itu agama dituntut mampu memberikan jawaban terhadap problem kemanusiaan secara menyeluruh yang menyangkut keadilan, pemenuhan kesejahteraan, pelestarian alam dan sebagainya. Jika tidak, maka agama akan kehilangan pengaruhnya.
Ajaran agama harus dipahami secara benar dan digali makna subtansialnya. Isu-isu kontemporer mengenai: keadilan, HAM, demokratisasi dan segala macam jenis pemihakan masyarakat seharusnya dijadikan indikator keberhasilan dakwah agama. Karena dimensi agama tidak hanya bersifat teosentris, melainkan juga sarat dengan dimensi antroposentris. Agama diturunkan oleh Tuhan untuk manusia, sementara manusia tidak bisa lepas dari ketergantungan dengan manusia lain atau alam makro secara keseluruhan.
Memang dalam praktik keberagamaan sehari-sehari kita saksikan, bahwa antara iman dan amal saleh sering tampak tidak berimbang. Dengan kata lain, pengahyatan dalam nilai-nilai keimanan sering terpisahkan dengan peran sosialnya. Ini disebabkan dalam merumuskan pengertian iman dalam agama tidak mengkaitkan realitas empiriknya. Sementara di pihak lain antara nilai iman (ortodoksi) dan nilai amal (ortopraksis) dalam agama terlalu banyak mengalami kontradiksi dan gap. Akibatnya, dari ketidakseimbangan (gap) antara amal dan iman tadi memunculkan kritik terhadap agama dan pemeluknya, yang dilukiskan sebagai: agama yang egois, individualis, agama yang hanya sarat dengan doktrin sakral, praktik ritual, sabda mimbar, tidak memihak kaum lemah dan seterusnya. Padahal agama dikenal sebagai pembawa rahmat dan penyalamat umat, dan secara normatif, agama juga dianggap sebagai kontrol sosial, edukatif, dan pemersatu umat.
Dom H. Camara[10], seorang aktivis dan uskup agung, dalam karyanya, Spiral Kekerasan menyerukan agar semua umat beragama bersatu dan membuka kembali kitab sucinya masing-masing untuk menemukan ajaran kemanusiaan universal dalam rangka melawan musuh nyata ketidakadilan. Lalu aktivis Muslim, Asghar Ali Engineer[11] mengimbau perlunya memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia dengan menata kembali kehidupan sosial yang adil dan egaliter. Oleh sebab itu menurut Ali, orang beriman yang sejati adalah bukan hanya mereka yang mengucapkan kalimah syahadah, melainkan mereka yang menegakkan keadilan dan memperjuangkan kelompok yang tertindas (al-mustadh’afin). Untuk menuju ke arah kedamaian dan keutuhan umat, maka keadilan harus terus diperjuangkan.
Jika kita perhatikan secara serius baik secara normatif maupun historis dalam sejarah kerasulan, sesungguhnya musuh agama adalah ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Kalau masih ada ketidakadilan dan ketimpangan sosial di muka bumi ini maka menjadi tanggung jawab semua umat beragama. Karena pada dasarnya semua agama tidak menghendaki segala macam bentuk kezaliman. Di sinilah letak kebenaran universal agama itu. Semua ajaran agama menghendaki wujud kebaikan di masyarakat dan menentang semua bentuk kezaliman.
Dalam konteks Islam misalnya, tidak dikenal dikotomi antara domain duniawi dan domain agama. Nilai-nilai Islam pada dasarnya --meminjam istilah Kuntowijoyo--[12]bersifat all embracing bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, tugas terbesar Islam sesungguhnya adalah melakukan transformasi sosial dan budaya sesuai dengan nilai-nilai Islam yang humanis, rahmah.
Dalam pandangan Islam, orang yang masih membiarkan ketimpangan sosial (tidak peduli orang miskin, anak yatim dan orang yang terlantar dan tertindas) maka disebut sebagai pendusta dan penghianat agama (baca: QS. Al-Ma’un). Termasuk musuh agama adalah orang yang mengakumulasi kekayaan yang tak ada kemanfaatan bagi orang lain (lihat: QS. Al-Humazah). Oleh sebab itu bisa dipahami ketika nabi Muhammad pertama kali menyiarkan agama yang ditentang mati-matian oleh kafir Quraisy saat itu adalah karena beliau dianggap menghalang-halangi praktik akumulasi dan monopoli kekayaan para konglomerat Arab saat itu.
Agar agama tidak dijauhi oleh pemeluknya, maka agama harus mampu menjawab tantangan-tantangan yang semakin kompleks seiring dengan perubahan zaman yang semakin cepat. Tantangan-tantangan itu antara lain menyangkut: pemahaman ajaran agama dan politisasi agama. Sementara pluralitas agama bisa menjadi bagian khazanah bangsa, jika dipahami sebagai anugerah Tuhan, dengan cara menjalin kerjasama untuk membangun persatuan dan kesatuan antarumat beragama demi terwujudnya kemakmuran dunia. Jika pluralitas agama menemukan satu wadah visi maupun misi teologis yang sama, maka agama akan mampu menjawab berbagai tantangan yang akan dihadapai baik sekarang maupun mendatang.
Namun fenomena yang nampak selama ini adalah, agama lebih berorientasi pada status quo, ketimbang misi kemanusiaannya. Agama lebih cenderung berlindung di balik kepentingan para pejabat atau pemimipin formal agama. Oleh sebab itu, pengertian agama samawi-ardhi harus didudukkan secara benar. Agama yang benar adalah agama samawat wa-’l-ardh dalam arti ideal-real, terpadunya cita-cita dan realita, ibarat air yang turun dari gunung ke telaga, sejuk dan menyejukkan. Dengan begitu agama tidak berada di langit nun jauh di sana, tetapi ia membumi.
Bersamaan dengan ini pula maka reorientasi pendidikan agama di sekolah bagi terciptanya kesadaran sosial adalah sangat mendesak dilakukan. Dari kajian ini pula, sepintas kita telah memahami dimana letak kelebihan dan kekurangan model pendidikan agama yang diberlakukan oleh Departemen Agama selama ini. Perlu ada penelitian lanjut terhadap pesan-pesan materi yang tertuang dalam buku ajar yang merumuskan persoalan elementer kemanusiaan. Persoalan ini mesti segera dicarikan jalan keluarnya, sehingga doktrin-doktrin agama menjadi semakin bermakna bagi terciptanya kehidupan yang harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, agama yang dipentingkan bukan yang normatif-verbalistik, namun yang lebih penting dari itu semua adalah ruh, semangat dari agama itu sendiri, yaitu tegaknya moralitas dan kasih sayang. Karena dengan pendidikan model terakhir ini, diharapkan anak didik akan menjadi manusia yang memiliki kepribadian ideal, jiwa solidaritas yang tinggi, jujur, adil, jauh dari kekerasan dan konflik sosial. Orientasi pendidikan semacam ini juga akan terlihat secara jelas ketika dihadapkan pada kompleksitas dan pluralitas agama.
Di sini pluralitas agama yang ada di Indonesia harus menjadi kekuatan konstruktif-transformatif dalam model pendidikan kita. Potensi konstruktif-transformatif akan berkembang jika masing-masing komunitas agama memahami dan menjunjung tinggi nilai toleransi dan kerukunan melalui pendidikan agama dan keteladanan sikap seorang guru. Reorientasi pendidikan agama sudah saatnya dimulai dari SD hingga perguruan tinggi dengan mngevaluasi kurikulum kita yang selama ini dianggap kurang memenuhi syarat sebagai kurikulum yang berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas.

Politisasi Agama
Dalam The New Cold War: Religious Nationalism Confront in The Scular State, Mark Jurgensmeyer[13] mengatakan, bahwa tatanan Dunia Baru yang menggantikan kekuatan-kekuatan bipolar Perang Dingin masa lalu tidak hanya dicirikan oleh munculnya kekuatan-kekuatan ekonomi baru, ambruknya kerajaan-kerajaan kuno dan melemahnya komunisme, melainkan oleh bangkitnya identitas-identitas parokial yang didasarkan pada etnis dan kesetiaan agama.[14]
Sementara itu, E. Marty dan Appleby[15] menegaskan, bahwa runtuhnya komunisme di Eropa Barat dan terkoyaknya ideologi Marxis di Uni Soviet pada tahun 1990-an telah memunculkan spikulasi para pengamat politik tentang “musuh baru yang bakal dihadapi Amerika”. Kekuatan ideologi apa yang akan menjadi penghalang bagi tegaknya demokrasi liberal di negara-negara Barat menuju pembangunan dunia secara global? Jawabnya adalah, fundamentalisme agama.
Dalam konteks ini, Bassam Tibi[16] dalam The Challence of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder menilai, bahwa fundamentalisme Islam hanyalah satu jenis dari fenomena global dalam politik dunia dan sebuah gejala ideologi tentang “benturan peradaban”. Menurut Tibi, fundamentalisme dengan gaya agitasinya yang demikian, bukanlah sebuah solusi melainkan justru cenderung menciptakan chaos, karena ia terus-menerus mendorong konflik dan mempertajam fragmentasi budaya. Tibi menolak politisasi agama yang dilakukan oleh kelompok fundamentalisme. Alasannya, bahwa fundamentalisme lebih merupakan ideologi politik dari pada fenomena yang murni agama.
Bagaimana hubungan fundamentalisme Islam dengan kekerasan? Beberapa penulis Islam sendiri memang ada yang kritis terhadap penilaian fundamentalisme Islam ini. Tibi misalnya menilai, bahwa Islam sebagai agama bukanlah ancaman, tetapi fundamentalisme Islam sebagai sebuah ancaman adalah benar, bahkan dalam sekala besar sekalipun, dan ia merupakan tantangan politik
Senada dengan Tibi, dalam konteks konfrontasi Islam dengan peradaban Barat, Soroush[17] mengkhawatirkan adanya kaum Muslimin yang menjadikan Islam sebagai sebuah identitas. Soroush menilai, bahwa salah satu penyakit teoretis di Dunia Islam yang paling berat --pada umumnya-- adalah bahwa orang lebih memahami Islam sebagai identitas dari pada sebagai kebenaran. Selanjutnya ia mengatakan, bahwa orang Islam mempunyai identitas dan peradaban itu memang benar, tetapi mereka tidak boleh menggunakan Islam demi kepentingan identitas dan peradaban tersebut (baca: politisasi agama atau Islam politik). Islam identitas harus tunduk pada Islam sebagai kebenaran, karena Islam sebagai kebenaran bisa berdampingan dengan kebenaran-kebenaran lain, sedangkan Islam identitas cenderung berseteru. Islam identitas menurut Soroush adalah Islam perang, bukan Islam damai. [18]
Persoalan di atas memang tidak lepas dari perdebatan klasik mengenai: “apakah Islam sebagai sebuah ajaran dalam al-Qur’an", atau sekaligus "sebagai ideologi politik”. Di satu sisi, sebagian kelompok Islam memahami, bahwa Islam tidak bisa lepas dari urusan politik, Islam adalah agama dan sekaligus juga politik (al-Islam Din wa Daulah). Sementara pada sisi lain, sebagian kelompok memahami Islam hanyalah sebuah agama, yang terpisah dari usrusan politik. Kelompok Islam politik (al-Islam al-siyasy) ini misalnya diwakili oleh Ayatullah Khumaini dan kawan-kawan dengan revolusinya yang menggegerkan dunia serta karya populernya, Kasyf al-Gayb. Sementara Islam a politik (al-lasiyasy) diwakili oleh Ali Abd. Al-Raziq dengan karya populernya, al-Islam wa Ushul al-Hukm dan kawan-kawan.[19] Dua pandangan di atas juga mewarnai kehidupan keberagamaan di bebagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Di Indonesia, Islam identitas direpresentasikan oleh kelompok-kelompok organisasi Islam seperti FPI, HTI dan PKS, sementara kelompok Islam non-politik seperti yang terlihat pada ormas Islam NU dan Muhammadiyah.

Agama dan Demokrasi
Bagaimana relasi agama dan demokrasi? Jika dilihat dari basis normatifnya, memang agama dan demokrasi berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya sendiri. Namun begitu menurut Aswab Mahasin, [20] tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi.
Dalam konteks Islam, elemen-elemen pokok demokrasi meliputi: as-syura, al-musawah, al-‘adalah, al-amanah, al-masuliyyah dan al-hurriyyah. Secara normatif memang cukup banyak ayat al-Qur’an yang menyebutkan prinsip-prinsip utama demokrasi, antara lain QS. Ali Imran: 159 dan al-Syura: 38 (yang berbicara tentang musyawarah); al-Maidah: 8; dan al-Syura: 15 (tentang keadilan); al-Hujurat: 13 (tentang persamaan); al-Nisa’: 58 (tentang amanah); Ali Imran: 104 (tentang kebebasan mengkritik); al-Nisa’: 59, 83 dan al-Syuro: 38 (tentang kebebasan berpendapat) dst.[21] Pertanyaannya kemudian, bagaimana realitas demokrasi di dunia Islam? Masalah ini dijawab oleh Huntington dan Fukuyama,[22] dengan menegaskan, “bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak compatible dengan demokrasi”.
Dalam realitas sejarah Islam, memang ada pemerintahan otoriter yang dibungkus dengan baju Islam seperti pada praktik-praktik yang dilakukan oleh sebagian penguasa Bani Umayyah dan Bani ‘Abbasiyyah. Dan memang harus diakui, bahwa pasca Nabi dan khulafaurrasyidin --karena kepentingan dan untuk melanggengkan status quo raja-raja Islam-- demokrasi sering dijadikan tumbal. Seperti pengamatan Mahasin17, bahwa di beberapa bagian negara Arab misalnya, Islam seolah-olah mengesankan pemerintahan raja-raja yang korup dan otoriter. Demikian pula realitas yang dialami oleh pemeluk agama lain. Gereja Katolik misalnya, bersikap acuh-takacuh ketika terjadi revolusi Perancis. Karena sikap tersebut, kemudian agama Katolik disebut sebagai tidak demokratis. Hal yang sama ternyata juga dialami oleh agama Kristen Protestan, dimana pada awal munculnya, dengan reformasi Martin Luther, Kristen memihak elit ekonomi, sehingga merugikan posisi kaum tani dan buruh. Tak mengherankan kalau Kristen pun disebut tidak demokratis. Oleh sebab itu statement Huntington maupun Fukuyama yang mengatakan bahwa secara empirik Islam tidak compatible dengan demokrasi sebetulnya tidak hanya terjadi pada masyarakat Islam saja, tetapi juga agama lain.
Dengan demikian, betapa sulitnya menegakkan demokrasi, yang di dalamnya menyangkut soal: persamaan hak, kebebasan berpendapat, penegakan keadilan, musyawarah, amanah dan tanggung jawab. Sulitnya menegakkan praktik demokratisasi dalam suatu negara oleh penguasa di atas, seiring dengan kompleksitas problem dan tantangan yang dihadapinya, dan lebih dari itu adalah menyangkut komitmen dan moralitas penguasa itu sendiri. Dengan demikian, memperhatikan relasi antara agama dan demokrasi dalam sebuah komunitas sosial menyangkut banyak variabel, termasuk variabel independen non-agama.
Memang ada masalah dengan nilai-nilai ajaran agama kita yang idealistik dengan kenyataan empirik dalam kehidupan kita sehari-hari, baik dalam lingkungan kerja kita maupun dalam masyarakat secara umum. Selain itu, persoalan besar yang dihadapi manusia multi-kultural sekarang ini juga tidak lepas dari tema tersebut. Agama-agama di dunia saat ini dihadapkan pada tantangan kemanusiaan universal. Mampukah agama menjawab problem kemanusiaan universal ini? Termasuk Islam?
Agama sendiri memiliki peran sebagai pembimbing manusia ke jalan yang benar, ia berisikan aturan-aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitar. Dengan aturan-aturan itu diharapkan terpelihara ketenteraman dunia, dan manusia akan memperoleh kebahagiaan tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Logikanya, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini seharusnya terjamin kedamaian dan tertib sosial kita, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama dan Negara kita adalah Negara yang bukan sekuler. Tetapi mengapa kenyataannya berbalik? Di mana peran agama sebagai motivator dan penggerak pembangunan? Inilah tantangan yang kita hadapi bersama. Oleh sebab itu menurut hemat saya, agama mampu menjadi kekuatan riil dan positif di dunia sekarang ini, jika ajaran-ajarannya diimplementasikan dalam masyarakat dengan mengedepankan nilai-nilai etik dan sosialnya, misalnya mengembangkan nilai-nilai demokrasi, HAM, kemanusiaan universal dan seterusnya @








BIBLIOGRAFI




Abd al-Baqi, Muhammad Fuad, al-Mu’jam al-Mufahras li alfaz al-Qur’an al-Karim, (Libanon, Dar al-Ihya’ al-Turats).
Abu Rabi’, “Christian-Muslim Relations in Indonesia: The Challenges of The Twenty-First Century” Jurnal Studia Islamika (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1998)
Ahmad, Akbar S. Citra Muslim, Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, terjemahan Nunding Ram dan Ali Yaqub (Jakarta, Erlangga,1992).
Akbar S Ahmed, Citra Muslim, Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, terjemahan Nunding Ram dan Ali Yaqub (Jakarta:Erlangga,1992).
Ali, Asghar, Islam Pembebasan (Yogyakarta, LKIS,1993).
Aziz, Imam et.al., (ed). Agama, Demokrasi dan Keadilan (Jakarta, Gramedia. 1999).
Camara, Dom Heder. Spiral Kekerasan, (Yogyajarta, Pustaka Pelajar. 2000).
Coward, Harold, Pluralisme dan Tantangan Agama-Agama (Yogyakarta, Kanisius,1989).
Coward, Harold,”Religious Pluralism and the Future of Religions” dalam Thomas Dean (ed), Religious Pluralism and Truth Essays on Cross Cultural Philosophy of Religion (State University of New York Press, 1995).
Eicklelman, Dale F. dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim (Bandung: Mizan, 1998).
Esposito, John L., Dialektika Peradaban: Modernisme Politik dan Budaya di Akhir Abad ke-20 (Yogyakarta: Qalam, 2002).
Hick, John Problem of Religious Pluralism. (London: The Macmillan Press, 1985).
Huntington, Samuel P. Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia (Yogyakarta: Qalam, 2003).
Jawa Pos, (28 Mei 1990).
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan 1991),
Mahasin, Aswab dalam Imam Aziz, et.al., (ed). Agama, Demokrasi dan Keadilan (Jakarta, Gramedia. 1999).
Marty E. dan Appelby, Fundamentalism and the State (University of Chicago Press. 1991).
Soroush, Abdul Karim Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terjemahan Abdullah Ali (Bandung: Mizan, 2003).
Stark, Rodey, One True God: Resiko Sejarah Bertuhan Satu, terjemahan M. Sadat Ismail (Yogyakarta: Qalam, 2003).
Suseno, Frans Magnis, “The Challenge of Pluralism” dalam Kamaruddin Amin et.al., Quo Vadis Islamic Studies di Indonesia? (Diktis Depag RI bekserjasama dengan PPs UIN Alauddin Makassar, 2006)
Tibi, Bassam, Islam and Cultural Accomodation of Social Change (Boulder, San Fransisco & Oxford: Westview Press, 1991).
Tibi, Bassam, The Challence of Fundamentalism: political Islam and the New World Disorder (University of California Press, 1998).
Tracy, David Plurality and Ambiguity, Hermeneutic, Religion, Hope, (University of Chicago Press, 1987).
Zada, Hamami. “Agama dan Etnis: Tantangan Pluralisme di Indonesia” dalam Sururin dan Maria Ulfa (ed), Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam (Jakarta: Nuansa-Fatayat NU-Ford Foundation, 2006).
Zainuddin M., "Pluralisme dan Dialog Antaragama” dalam Jurnal Media Philosophica-Theologia, IPTH Malang, Vol.5 N0 1, Maret 2005.
Zainuddin M., Kesalehan Normatif dan Kesalehan social (Malang: UIN-Malang Press, 2007).
























* Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional, tentang Pluralitas Agama di Era Inodensia Kontemporer (Masalah dan Pengaruhnya Bagi Masa Depan Agama dan Demokrasi), diselenggarakan oleh LKQS UIN Malang, 15 Desember 2007.
* M. Zainuddin, adalah Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Malang.
[1] Hamami Zada, “Agama dan Etnis: Tantangan Pluralisme di Indonesia” dalam Sururin dan Maria Ulfa (ed), Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam (Jakarta: Nuansa-Fatayat NU-Ford Foundation, 2006), 184
[2] Coward, Pluralisme dan Tantangan Agama-Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 167. Lihat pula Coward, ”Religious Pluralism and the Future of Religions” dalam Thomas Dean (ed), Religious Pluralism and Truth Essays on Cross Cultural Philosophy of Religion (State University of New York Press, 1995), 45. Bandingkan dengan Frans Magnis Suseno, “The Challenge of Pluralism” dalam Kamaruddin Amin et.al., Quo Vadis Islamic Studies di Indonesia? (Diktis Depag RI bekserjasama dengan PPs UIN Alauddin Makassar, 2006), 13.
[3] Dalam pembahasan ini saya menggunakan istilah pluralitas, bukan pluralisme, karena keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Pluralitas berarti realitas, kenyataan yang mesti ada, sementara pluralisme suatu paham tentang kesatuan agama-agama. Lebih jauh lihat M. Zainuddin, "Pluralisme dan Dialog Antaragama” dalam Jurnal Media Philosophica-Theologia, IPTH Malang, Vol.5 N0 1, Maret 2005.
[4] Abu Rabi’, “Christian-Muslim Relations in Indonesia: The Challenges of The Twenty-First Century” Jurnal Studia Islamika (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1998), 2.
[5] Pada dekade 1980-an hingga saat ini prakarsa untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama dan sosialisasi pemahaman pluralitas ini pun terus dilakukan, baik oleh elit agama, intelektual muda maupun pemerintah sendiri, misalnya dialog yang diselenggarakan oleh International Conference on Religion and Peace (ICRP) yang diprakarsai oleh Djohan Effendi dan kawan-kawan, dialog kelembagaan (Institutional Dialogue), yakni dialog antar delegasi berbagai organisasi agama yang melibatkan majelis-majelis agama yang diakui pemerintah, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Darma dan Perwalian Umat Budha Indonesia (WALUBI) dan seterusnya, dialog berwacana transformatif yang sering dilakukan oleh kalangan intelektual atau LSM seperti Institute for Interfaith Dialogue in Inonesia atau Dialog Antar Iman (Interfidei/DIAN), Paramadina, Lembaga Kajian islam dan Sosial (LKiS) di Yogyakarta, Lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (LP3M) di Jakarta, Masyarakat Dialog Antar Agama (MADIA), dan lain-lain. Tetapi kenyataannya, ketegangan dan kerusuhan yang disebabkan oleh sentimen keagamaan (Islam-Kristen) di beberapa daerah, seperti di Situbondo, Tasikmalaya, Ketapang, Kupang, Ambon, Poso, Maluku dan seterusnya yang mengakibatkan hancurnya tempat-tempat ibadah seperti masjid, mushalla, dan gereja semakin bertambah parah kondisinya. Padahal upaya Pemerintah RI. dalam menyelesaikan masalah konflik di Poso, yang melahirkan wadah yang bernama Perundingan Malino I dan ditindaklanjuti dengan Perundingan Malino II untuk penyelesaikan konflik Maluku terus digalang. Dengan perundingan Malino II ini diharapkan menghasilkan kemanfaatan yang berarti bagi terciptanya perdamaian dan kerukunan hidup antarumat beragama di Indonesia. Tetapi upaya inipun, sebagaimana yang kita saksikan bersama, belum juga mampu mengatasi dan mencegah timbulnya kembali konflik antarumat beragama. Fenomena di atas menunjukkan adanya kesenjangan (gap) antara idealitas agama (das sollen) sebagai ajaran dan pesan-pesan suci Tuhan dengan realitas empirik yang terjadi dalam masyarakat (das sein).
[6]Stark, Rodey, One True God: Resiko Sejarah Bertuhan Satu, terjemahan M. Sadat Ismail, (Yogyakarta: Qalam, 2003), 171-173, 183.
[7]Sebagaimana yang diungkap oleh John Hick, bahwa klaim absolutisme dilakukan oleh semua agama, baik Islam, Kristen Hindu maupun Yahudi. Lihat John Hick, Problem of Religious Pluralism. (London: The Macmillan Press, 1985), 46, David Tracy, Plurality and Ambiguity, Hermeneutic, Religion, Hope. (University of Chicago Press, 1987).

[8] Penegasan Stark nampak sekali hendak menyeru orang beragama mengikuti pandangan pluralisme. Menurut penulis, jika hanya berhenti pada claim absolutis tidak menjadi soal, namun masalah akan timbul ketika claim absolutis dibarengi dengan memandang rendah dan memaksa orang lain untuk mengikuti agamanya.
[9] Stark, One True God One…76,181.

[10] Dom Heder Camara, Spiral Kekerasan (Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 2000).
[11] Asghar Ali, Islam Pembebasan (Yogyakarta, LKiS,1993), 29, 80.

[12] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan 1991), 167.

[13]John Naisbit dan Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000-nya juga memprediksikan munculnya sepuluh kecenderungan dalam dasawarsa sembilan puluhan, termasuk salah satunya adalah adanya kebangkitan agama Bangkitnya agama-agama (revival of the relegions) di dunia ini semakin membukakan mata ketika terjadi keambrukan ideologi komunis di Eropa Timur utamanya Soviet. Apakah ini merupakan the end of ideology seperti yang pernah diramalkan oleh Daniel Bell itu? Pertanyaan berikutnya, apakah agama sudah menjadi alternatif yang sungguh-sungguh sekarang ini, sehingga sampai pernah muncul polemik tentang agama-agama pasca ideologi? (Lihat: Oetama, 1990:ix dan Jawa Pos, 28 Mei 1990).
[14]Jurgensmeyer tidak memakai istilah ini sebagai fundamentalisme, tetapi ia lebih suka memakai istilah “nasionalisme agama”. Hal ini didasarkan pada tiga alasan: pertama, istilah fundamentalisme lebih banyak merupakan tuduhan dari pada deskripsi; kedua, fundamentalisme adalah sebuah kategori yang tidak tepat untuk membuat perbandingan antarbudaya; ketiga, fundamentalisme mendeskripsikan sikap- yang semata-mata termotivasi oleh kepercayaan agama daripada masalah-masalah yang luas tentang watak masyarakat dan dunia.
[15]E. Marty dan Appleby Marty E. dan Appelby, Fundamentalism and the State (University of Chicago Press. 1991).

[16]Bassam Tibi, The Challence of Fundamentalism: political Islam and the New World Disorder, (University of California Press, 1998).
[17]Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terjemahan Abdullah Ali, (Bandung: Mizan, 2003), 32-34.

[18]Adalah pemikir Islam modern, Mohammed Arkoun mencoba memberikan istilah fundamentalisme ini dengan ungkapan yang berbeda, yaitu: Ushulawy atau Ushulawiyah (menggunakan huruf w/wawu). Arkoun menggunakan dua istilah baru: Islamawy atau Islamawiyah untuk islamisme dan Ushulawy atau Ushulawiyah untuk fundamentalisme. Menurut Arkoun, Islamawy/Islamawiyah bermakna penggunaan keyakinan atau pandangan pemikiran secara berlebihan. Adapun istilah Islamy (tanpa w) bermakna adanya kesederhanaan sikap yang tetap fleksibel dan inklusif dalam aspek pemikiran dan intelektualitas. Menurut Arkoun, pejuang Islamawy/Islamawiyah menggunakan ungkapan secara leksikal/ harfiah untuk tujuan politisnya dan mengambil unsur dari sana sini untuk mempermainkan imajiner politis para pejuang yang bertujuan untuk memobilisir rakyat. Seperti juga istilah Islamy, istilah Ushuly, menurut Arkoun, mengacu kepada sesuatu yang positif dan mendorong kita kepada sejarah pemikiran Islam di saat munculnya literatur ushul, yaitu Ushul al-Din dan Ushul al-Fiqh (Lihat Arkoun dalam Jauhari et.al., 1999: 67-68). Menurut Arkoun, penilaian yang keliru terhadap wacana fundamentalisme ini sudah lama dilakukan oleh pengamat Barat dan termasuk juga pengamat Islam sendiri. Para orientalis dan Barat pada umumnya selalu memandang Islam sebagai agama kekerasan dan identik dengan gerakan teroris. Oleh sebab itu istilah fundamentalisme, hemat penulis, harus dibongkar atau didefinisikan ulang. Penamaan sebuah gerakan Islam yang tidak tepat justru akan berakibat fatal terhadap Islam itu sendiri. Fundamentalisme Islam yang selama ini dikaitkan dengan gerakan kekerasan, teror atau pemberontakan adalah kekeliruan besar dan mereduksi nilai Islam itu sendiri. Menurut penulis, justru istilah fundamentalisme dan radikalisme lebih tepat diberikan kepada pemikir Islam seperti: Mohammed Arkoun, Hassan Hanafi, Al-Naim, Ashgar Ali, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, yang selama ini disebut sebagai neo-medernis, karena mereka memiliki pemikiran keislaman yang mendasar (fundamental) dan mendalam (radix), bukan seperti sekelompok orang yang secara intelektual-keislaman masih belum dikenal dan belum menguasai banyak khazanah Islam klasik. Oleh sebab itu pemikiran fundamentalis lebih identik dengan pemikiran substansialis. Dengan begitu maka gerakan fundamentalisme adalah gerakan inklusivisme, tidak sebaliknya, yang selama ini berkonotasi ekslusif dan tekstualis-skripturalis.

[19]Untuk ini lihat Esposito, Islam in Transition, Dale F. Eicklelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim (Bandung: Mizan, 1998).

[20]Lihat Aswab Mahasin dalam Imam Aziz, et.al., (ed), Ibid.

[21] Abd al-Baqi, Muhammad Fuad, al-Mu’jam al-Mufahras li alfaz al-Qur’an al-Karim, Libanon, Dar al-Ihya’ al-Turats.


[22]Imam Aziz, et.al. (ed). Agama, Demokrasi dan Keadilan (Jakarta, Gramedia. 1999), 30.

ISLAM RAHMAH

MENEGAKKAN ISLAM RAHMAH
Oleh M. Zainuddin, MA.*


Tema International Conference of Islamic Scholars (ICIS) ke-2 yang digelar PBNU tahun lalu adalah tentang diskursus penting: Upholding Islam as Rahmatan Lil-‘alamin. Tema ini memang tidak pernah usang, karena substansi dan proyek garapan besar Islam adalah persoalan concern dan komitmen kemanusiaan. Selain itu, persoalan besar yang dihadapi manusia multi-kultural sekarang ini juga tidak lepas dari tema tersebut. Agama-agama di dunia saat ini dihadapkan pada tantangan kemanusiaan universal. Mampukah agama menjawab problem kemanusiaan universal ini? Termasuk Islam?
Sebagai sebuah ajaran, Islam dikenal sebagai agama yang sangat humanis, bahkan konsep tauhid --sebagai dimensi ideal-transendental dalam ajaran Islam-- tidak boleh dipisahkan dari kehidupan sosialnya. Tetapi sayangnya, secara empiris dalam masyarakat, ajaran yang humanis dan menekankan nilai-nilai sosial ini tidak nampak kental dalam masyarakat muslim, justru yang terjadi sebaliknya. Ada kesenjangan antara nilai-nilai agama yang bersifat ideal dengan nilai-nilai sosialnya. Orang Islam lebih tersinggung jika agamanya “dilecehkan”, sementara tidak tersinggung jika ada ketimpangan sosial di mana-mana.
Oleh sebab itu Abdul Karim Soroush menilai, bahwa salah satu penyakit teoretis di dunia Islam yang paling berat pada umumnya adalah, bahwa orang lebih memahami Islam sebagai identitas dari pada sebagai kebenaran. Menurutnya, bahwa orang Islam mempunyai identitas dan peradaban memang benar, tapi mereka tidak boleh menggunakan Islam demi kepentingan identitas dan peradaban tersebut (baca: politisasi agama atau Islam politik). Islam identitas harus tunduk pada Islam sebagai kebenaran, karena Islam sebagai kebenaran bisa berdampingan dengan kebenaran-kebenaran lain, sedangkan Islam identitas cenderung berseteru. Islam identitas menurut Soroush adalah Islam perang, bukan Islam damai.
Kesenjangan ortodoksi dan ortopraksis (iman dan amal saleh) dalam kehidupan masyarakat disebabkan karena dalam merumuskan pengertian iman dalam agama tidak mempertautkan dengan kondisi sosial sebagai gambaran implikasinya secara praktis. Akibatnya, memunculkan kritik terhadap agama dan pemeluknya, yang dilukiskan sebagai: agama yang egois, individualis, agama yang hanya sarat dengan doktrin sakral, praktik ritual, sabda mimbar, tidak memihak kaum lemah dan seterusnya. Padahal agama (baca: Islam) secara normatif-idealistik dikenal sebagai pembawa rahmat dan penyalamat umat.
Islam memberikan tuntunan hidup manusia dari persoalan yang paling kecil hingga kepada urusan yang paling besar, mulai dari urusan rumah tangga, tidur, makan dan minum sampai pada urusan bangsa dan negara. Islam is indeed much more than a system of theology its complete civilization, demikian pengakuan HAR. Gibb.
Islam mengandung nilai humanisme, yaitu agama yang sangat mementingkan kemaslahatan umat sebagai tujuan sentral. Humanisme Islam adalah humanisme teosentrik, artinya ia merupakan sebuah agama yang memusatkan dirinya pada keimanan terhadap Tuhan, tetapi sekaligus mengarahkan perjuangannya pada kemuliaan peradaban manusia. Prinsip humanisme-teosentrik inilah yang kemudian harus ditransformasikan dalam masyarakat dan budaya.
Fakta bahwa Islam lebih dari sekadar sebuah agama formal, tetapi juga risalah yang agung bagi transformasi sosial dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi (vested interest) telah dibuktikan oleh penekanannya pada shalat dan zakat. Dalam kebanyakan ayat al-Al-Qur’an, shalat tidak pernah disebutkan tanpa diiringi dengan zakat. Orang yang selalu menumpuk kekayaan dan tidak mau mengeluarkan zakatnya dicap sebagai orang yang arogan (al-mustakbirin).
Secara alamiah Islam dimulai dari gerakan moral dan kemanusiaan. Seperti pengakuan Nabi sendiri dia diutus oleh Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak manusia (Innama Buistu Li utammimma Husn al-Akhlaq). Gerakan yang dilakukan oleh Nabi dalam membangun masyarakat Madinah saat itu berorientasi pada masalah-masalah pembangunan umat dan pembinaan masyarakat yang bebas dari eksploitasi, dominasi dan ketidakadilan dalam bentuk apapun.
Seperti ungkap Asghar Ali (1993: 89), ketika al-Qur’an secara tegas mengutuk penindasan dan ketidakadilan, maka perhatiannya terhadap wujud ordo-sosial yang egaliter tidak bisa disangkal lagi. Karena itu menurut Ali --terlepas dari signifikansinya-- istilah-istilah al-Qur’an juga mempunyai konotasi-konotasi sosial-ekonomi. Dengan demikian, term kafir dalam al-Qur’an tidak hanya bermakna ingkar terhadap Tuhan, malainkan secara tidak langsung juga menentang terhadap keadilan dan kejujuran yang seharusnya diwujudkan dalam suatu masyarakat. Orang yang mengaku beriman kepada Allah harus menunjukkan keberpihakannya (komitmen) terhadap orang-orang yang lemah (al-mustadh’afin) seperti: anak-anak yatim, orang miskin dan orang terlantar dan menegakkan keadilan di muka bumi ini.
Di dalam struktur keagamaan Islam, tidak dikenal dokotomi antara domain duniawi dan domain agama. Nilai-nilai Islam pada dasarnya --meminjam istilah Kuntowijoyo (1991:167)-- bersifat all embracing bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, tugas terbesar Islam sesungguhnya adalah melakukan transformasi sosial dan budaya sesuai dengan nilai-nilai Islam yang humanis tadi.
Di dalam Al-Qur’an, kita sering kali membaca seruan agar manusia itu beriman dan kemudian beramal. Dalam surat al- Baqarah ayat kedua misalnya, disebutkan bahwa agara manusia itu menjadi Muttaqin, pertama-tama yang harus dia miliki adalah iman, “percaya kepada yang ghaib”, kemudian mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Di dalam ayat tersebut kita melihat adanya trilogi: iman-shalat-zakat; sementara dalam formulasi lain, kita juga mengenal trilogi iman-ilmu-amal. Dengan memperhatikan struktur al-Qur’an ini kita dapat menyimpulkan bahwa iman berujung pada amal atau aksi. Artinya, tawhid harus diaktualisasaikan. Sentral teologi Islam memang Tuhan, tetapi ujung aktualilsasinya adalah manusia. Dengan demikian, Islam menjadikan tawhid sebagai pusat dari semua orientasi nilai, sementara pada saat yang sama melihat manusia sebagai tujuan dari transformasi nilai. Dalam konteks inilah Islam disebut sebagai rahmatal lil ‘alamin, rahmat yang menjagat, termasuk rahmat bagi semua manusia, beyond priomordialisme dan sektarianisme.
Bahkan jika dicermati secara serius dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun as-Sunnah, niscaya akan kita temukan dua inti ajaran Islam, yaitu iman dan amal saleh. Iman adalah pengakuan yang serius bahwa Allah SWT adalah Tuhan satu-satunya yang harus disembah dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan (Rasul)-Nya. Iman harus kokoh dan dibangun lebih dulu, sebab kalau tidak, akan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan manusia. Iman yang benar pasti akan melahirkan perbuatan dan sikap tingkah laku yang positif (amal saleh). Sebab percaya kepada Allah SWT (dan juga Rasul-Nya) berarti percaya dan patuh dengan semua aturan-aturannya. Dengan demikian antara iman dan amal dalam ajaran Islam harus integrated. Persoalan relasi antara sistem keimanan dengan sistem sosial dalam ajaran Islam yang tidak bisa dipisahkan keduanya, ditegasakan dalam beberapa surat dan ayat al-Qur’an, misalnya saja dalam QS. Al-‘Ashr, At-Tin, Ar-Ra’d, An-Nisa’:36-37 dan Al-An’am:151. Ini artinya, betapa keras anjuran agama kepada manusia untuk selalu melaksanakan amal saleh dalam hidup ini, berbuat kebajikan dan berlaku benar.



____________
*Penulis adalah Dosen UIN Malang

Deelitisme Pendidikan

DEELITISME PENDIDIKAN


Baru saja kita menyaksikan para orang tua sibuk mengantarkan putrera-puterinya memasuki sekolah, terutama sekolah yang berstatus negeri dan yang favorit, mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Meski dengan beaya amat mahal tak jadi soal. Para orang tua mendambakan kelak putera-puterinya menjadi orang yang terpelajar dan berpendidikan.
Besarnya arus masuk sekolah berarti terjadi persaingan berebut bangku, sekolah dan perguruan tinggi menjadi elitis. Hal ini juga menjadi kekhawatiran kita tentang mutu. Sebab berdasarkan hasil temuan penelitian C.E. Beeby (1981) yang membenarkan teori Philip H. Coombs, bahwa membanjirnya jumlah peserta didik akan berdampak pada kemungkinan menurunnya mutu pendidikan itu sendiri (lihat laporan The World Educational Crisis: A System Analysis, 1986).
Tetapi di sisi lain kita juga menyaksikan para orang tua yang pasrah dengan nasib pendidikan putera-puterinya. Entah di mana mereka harus bersekolah dan sampai pada jenjang apa mereka mampu melanjutkan, karena persoalan beaya yang tak memungkinkan.
Ada dua pemandangan yang kontras pada kondisi pendidikan kita. Di satu sisi masyarakat ingin berlomba mencari pendidikan yang bermutu, pada sisi lain mereka frustrasi karena soal mahalnya beaya pendidikan dimaksud. Akhirnya ada sebagian masyarakat yang harus pasrah menerima kenyataan seperti itu. Dalam konteks ini, maka ada gep antara konsep ideal pendidikan kita dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Padahal jika kita memperhatikan rumusan Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) maka di situ ditegaskan, bahwa warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Setiap warga negara berhak atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengikuti pendidikan agar memperoleh pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan tamatan pendidikan dasar. Penerimaan seseorang sebagai peserta didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakn dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial dan tingkat kemampuan ekonomi, dan dengan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan (lihat Bab III pasal 5, 6 dan 7 UUSPN).
Pertanyaannya kemudian, sudah meratakah pendidikan kita? Bagaimana dengan anak-anak miskin dan terlantar? Bagaimana dengan beaya sekolah yang semakin membumbung tinggi, sehingga tidak memberikan peluang bagi keluarga miskin? Sementara mereka memiliki kemauan keras dan mampu secara kualitas untuk bersaing. Bahkan lebih cemerlang dari anak-anak orang kaya. Lantas masih perlukah pendidikan seperti sekolah? Bagaimana menghilangkan image, bahwa sekolah masih milik sekelompok tertentu dan jauh dari masyarakat bawah?
Di satu sisi kita ingin ada kompetisi dan seleksi masuk ke sekolah untuk mencari bibit-bibit unggul, di sisi lain bibit yang unggul tidak memiliki peluang untuk membayar beaya sekolah tersebut. Terpaksa mereka harus masuk sekolah yang dibawah standar. Bisa dibayangkan, bagaimana sekolah yang kondisinya tidak memenuhi syarat mampu mengangkat prestasi anak?
Sejumlah pertanyaan di atas memang klasik dan terkesan klise, tetapi selalu muncul dalam masyarakat, sepanjang pendidikan atau sekolah tersebut masih belum berpihak kepada masyarakat bawah (the lower class).
Bahkan “penindasan” yang dilakukan oleh institusi yang bernama sekolah ini mendorong Paulo Freire untuk mengusulkan perlunya perubahan yang fundamental bagi terwujudnya pemihakan (commitment) rakyat miskin. Sementara Ivan Illih dan Everett Reimer dalam Deschooling Society lebih radikal lagi mengusulkan dihapuskannya segala bentuk lembaga sekolah.
Meski Illih dan Reimer tersebut tidak realistis, tetapi setidaknya mampu menggugah para pakar pendidikan untuk mengevaluasi konsep pendidikan yang berlangsung selama ini.
Berbeda dengan Illih maupun Reimer, Johanes Muller masih menganggap bahwa sekolah masih menjadi alternatif yang terbaik. Hanya menurutnya, masalah yang harus segera diselesaikan adalah, bagaimana membentuk suatu sistem pendidikan yang secara institusional bisa merata dan mampu “memberantas” kemiskinan? Untuk itu menurut Muller perlu reformasi sistem pendidikan yang menyangkut:
Pertama, perlunya diupayakan pemerataan pendidikan secara luas dan dalam jumlah yang memadai. Pemerataan dimaksud adalah memberi kesempatan kepada masayarakat lapis bawah, bahkan mereka harus mendapatkan preferensi supaya tidak terjadi diskriminasi;
Kedua, Seluruh proses belajar-mengajar baik isi maupun penyampaian dan evaluasinya harus berorientasi kepada pemihakan rakyat miskin.
Memang reformasi yang ditawarkan Muller ini masih terkesan teoretis, bgagaimana praksisnya, perlu ada rumusan kongkret menyangkut soal ini. Karena pendidikan adalah tanggung jawab kita bersama: pemerintah, masyarakat dan keluarga (tri pusat pendidikan), maka dalam hal ini masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama untuk mewujudkan pendidikan yang populis dan berpihak kepada rakyat miskin.
Ada kesan kuat dalam masyarakat, bawa sekolah unggulan dan bermutu adalah sekolah orang kaya karena mahalnya beaya. Dus dengan demikian yang memiliki sekolah tersebut adalah mereka yang mampu membayar mahal (orang kaya), karena yang miskin tidak cukup beralasan untuk menempati sekolah unggulan tersebut. Kondisi demikian ini mengancam eksistensi pendidikan kita. Ada budaya diskriminasi di berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari diskriminasi sosial-ekonomi sampai pada diskriminasi pendidikan.
Sejak berkembangnya sistem sekolah sebagai lembaga yang dipercaya untuk mempersiapkan generasi yang lebih berkualitas, fungsi pokok sekolah mulai bergeser arah. Semula sekolah didirikan sebagai lembaga yang membantu orang tua dalam mentransfer ilmu pengetahuan dan mendidik anak sesuai dengan harapan bersama. Namun seiring dengan perkembangan sistem sekolah tersebut kemudian ada jarak antara sekolah dengan orang tua (masyarakat).
Di pihak orang tua, karena semakin kompleksnya tuntutan hidup yang dihadapi, lantas mereka cenderung mempercayakan pendidikan anak sepenuhnya kepada sekolah. Sementara di pihak sekolah juga semakin sibuk dengan upaya memenuhi tuntutan sistem pendidikan yang semakin kompleks, yang menguras tenaga dan pikiran para pendidik untuk melaksanakan tuntutan kurikulum yang berlaku. Dari sini kemudian berdampak pada hubungan orang tua dengan sekolah yang semula bersifat fungsional berubah menjadi formal dan pragmatis. Orang tua tak peduli dengan apa yang dilakukan oleh sekolah, yang penting anaknya bisa lulus dan dengan ijazah/STTB bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi atau bisa melamar pekerjaan. Di sinilah diperlukan sekolah yang berwawasan lingkungan, artinya sekolah harus lebih berorientasi pada masalah-masalah riil kehidupan, sehingga out put-nya tidak mengalami kesulitan ketika harus melanjutkan sekolah atau bekerja. Di sini pula perlunya pengembangan pendidikan dalam upaya mendekatkan sekolah sebagai pusat pengembangan masyarakat (Community Based Education).
Lantas bagaimana memecahkan problema diskriminasi pendidikan yang ada selama ini? Karena pendidikan dan nasib generasi bangsa ini tanggung jawab kita bersama (pemerintah, masyarakat dan keluarga), maka ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini:
Pertama, Pemerintah hendaknya memiliki good will dan komitmen yang tinggi terhadap pemberdayaan kaum miskin melalui prioritas program pendidikan Tidak ada lasan bagi pemerintah untuk mengurangi subsidi bagi penyelenggaraan pendidikan;
Kedua, masyarakat melalui para pengusaha dan LSM hendaknya turut serta menyediakan sarana pendidikan yang bermutu dan lapangan kerja bagi kaum miskin. Dana sosial baik yang ada dalam pemerintah maupun perusahaan hendaknya diprioritaskan pada pengembangan pendidikan;
Ketiga, Orientasi mata pelajaran dan kurikulum hendaknya ditekankan pada pendidikan yang berwawasan kemanusiaan (humanistik) dan penciptaan demokratisasi. Karena out put pendidikan diharapkan melahirkan generasi yang memiliki kepekaan sosial di masyarakat dan lingkungannya, bukan sebaliknya elitis dan diskriminatif.















C.E. Beeby dalam The World Educational Crisis: A System Analysis, 1986).
lihat Bab III pasal 5, 6 dan 7 UUSPN).

Barat-Islam

HUBUNGAN BARAT-ISLAM PASCA BUSH
Oleh M. Zainuddin*



Teori “Benturan Peradaban”
Menurut Huntington, konflik di dunia baru sekarang ini bukan disebabkan oleh faktor ideologis atau ekonomi, tetapi lebih disebabkan oleh apa yang disebut sebagai “benturan peradaban” (the clash of civilization) (lihat Samuel P.Huntington, 1993: 22-49 dan 2003). Huntington menjelaskan, bahwa benturan peradaban akan mewarnai dan mendominasi politik global. Menurutnya, identitas peradaban akan semakin penting pada masa akan datang dan dunia akan dibentuk dalam ukuran besar oleh interaksi di antara tujuh atau delapan peradaban utama: Barat, Konfuius, Jepang, Islam, Hindu, Slavia Ortodoks, Amerika Latin dan mungkin Afrika. Konflik yang paling penting pada masa akan datang terjadi di antara garis budaya yang memisahkan satu peradaban dengan yang lain. Beberapa negara yang lebih suka bergabung dengan Barat mengajukan westernisasi secara penuh, seperti Jepang, Rusia, negara lain di Eropa Timur dan Amerika Latin. Sementara yang tidak tergabung dengan Barat adalah, mereka menerima modernisasi tetapi menolak westernisasi (Al-Jabiri dalam John L. Esposito, 2002 89).
Sebagaimana kata Al-Jabiri sebetulnya dua tahun sebelum Huntington, sudah ada tesis serupa yang dilontarkan oleh Buzan. Hanya karena tidak ditulis secara provokatif sehingga tidak populer gaungnya. Barry Buzan membuat sketsa ciri-ciri utama dari pola baru hubungan keamanan global yang timbul setelah transformasi besar tahun 1989-1990. Menurutnya, terdapat empat ciri dasar dari bentuk hubungan baru antara beberapa negara, yaitu: pertama, munculnya struktur kekuasaan multipolar di samping pusat bipolar yang telah ada sejak Perang Dingin; kedua, sebuah tingkat pembagian dan perselisihan ideologi yang lebih kecil; ketiga, kecenderungan dominasi internasional dari kelompok negara-negara kapitalis yang menaruh perhatian dengan masalah keamanan dan perubahan; keempat, sebuah konsolidasi dari kekuatan masyarakat sipil internasional. Perubahan-perubahan di pusat (negara-negara industri) akan memiliki akibat langsung maupun tidak langsung terhadap keamanan politik, militer, ekonomi dan sosial dari pinggiran (negara-negara non-industri). Akibat-akibat inilah yang disebut Buzan sebagai “benturan dari identitas peradaban” yang berselisih, yang sangat mencolok antara Barat dan Islam (John L. Esposito,2002:88).

Teori "Hegemoni"
Dalam Webster’s New Collogiate Dictionary disebutkan, bahwa kata hegemoni berasal dari bahasa Yunani, hegemonia yang berarti pemimpin. Jadi, sama halnya dengan sifat umum yang terkait dengan pemimpin, maka hegemoni memiliki kata kunci: “pengaruh” dan “otoritas”.
Konsep hegemoni mula-mula diperkenalkan oleh Antonio Gramsci. Menurut Gramsci, hegemoni adalah kepemimpinan kultural yang dilaksanakan oleh kelas yang berkuasa (the ruling class). Menurut Gramsci, unsur esensial paling banyak mengenai filsafat modern tentang praksis (terkait dengan pemikiran dan tindakan) adalah, konsep filsafat sejarah “hegemoni”. Gramsci menolak ide perkembangan sejarah yang bersifat determinis atau “yang pasti terjadi” (Ritzer, 1988:128).
Hegemoni menunjuk pada sebuah kepemimpinan dari suatu negara tertentu terhadap negara lain. Dalam konteks politik internasional misalnya, pada periode Perang Dingin, pertarungan-pertarungan antara negara adikuasa, seperti Amerika Serkat dengan bekas Uni Sovyet (Rusia sekarang), biasanya disebut sebagai perang untuk merebut kekuatan hegemonik dunia (Patria dan Arief, 1999:116).
Gramsci membedakan antara hegemoni dengan kekuatan (force). Jika kekuatan meliputi penggunaan daya paksa untuk membuat orang banyak mengikuti dan mematuhi syarat-syarat suatu cara produksi tertentu, maka hegemoni meliputi perluasan dan pelestarian “kepatuhan aktif” dari kelompok-kelompok yang didominasi oleh kelas berkuasa lewat penggunaan kepemimpinan intelektual, moral dan politik (Pabotinggi, 1986:214).
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Pabotinggi (1986:214), bahwa hegemoni menekankan pada dominasi ideologis/ politis atas kaidah-kaidah moral dan intelektual yang berlaku. Hegemoni, melalui produk-produknya, menjadi penentu satu-satunya dari apa yang dipandang benar secara moral maupun intelektual. Hegemoni adalah dominasi sosial dimana “arah lain senantiasa didiamkan dan dilenyapkan dari diskusi, diperlakukan sebagai tak ada”.
Menurut Pabotinggi (1986:217), superaioritas Barat atas segala sesuatu yang “bukan Barat” merupakan pesan tunggal. Salah satu menifestasi terkuat dari hegemoni kultural-ideologis ini ialah diskursus Barat yang disebut dengan orientalisme. Strategi orientalisme tergantung secara konstan pada superioritas Barat yang dapat diwujudkan dalam berbagai posisi yang selamanya menempatkan superioritas Barat atas Timur.
Mengutip Binder, Martin mengungkapkan, bahwa dalam studi Timur Tengah kebanyakan orientalis Barat memiliki prasangka negatif terhadap Islam. Seberapa seriuskah prasangka tersebut menggerakkan keinginan untuk mengkaji Timur Muslim? Apakah pengaruhnya terus berlanjut pada mereka yang mengajar studi Timur Tengah sekarang? Jawaban provokatif atas pertanyaan ini diberikan oleh Edward W. Said dalam karyanya, Orientalism. Menurut Said, “studi ketimuran” sebagai disiplin keilmuan secara material dan intelektual terkait dengan ambisi politik dan ekonomi Eropa, dan orientalisme telah menghasilkan “gaya pemikiran yang dilandaskan pada distingsi teologis dan epistemologis antara “Timur” dan “Barat” dalam banyak hal. Said melanjutkan, bahwa orientalisme Barat mengembangkan cara-cara “pembahasan” tentang Islam (khusunya Arab) sehingga memapankan dan menyempurnakan rasa superioritas budaya Barat atas budaya lain. Said juga melihat adanya bias dalam tulisan-tulisan para sejarawan kolonial, misionaris, dan sarjana Barat. Bias yang paling populer menurut Said adalah proyeksi media tentang Arab saat ini sebagai masyarakat yang terbelakang, irrasional dan penuh nafsu birahi (Martin, 1985: 14-15). Pencandraan (citra negatif) yang dibangun oleh Barat dalam menilai Timur (baca: Islam) itu sudah sedemikian kuatnya, sehingga Barat dikonotasikan sebagai kemajuan, desentralisasi, stabil, sementara Timur identik dengan stagnasi, sentralisasi, kacau dst (lihat Sayyed, 1997:100).
Terkait dengan teori di atas, Fuller (Esposito, 2002:90-91) mengatakan, bahwa benturan antarperadaban bukan antara Yesus Kristus, Konfusius atau Nabi Muhammad sebagaimana yang dipahami Huntington, tetapi bersifat ideologis. Peradaban adalah kendaraan bagi pengungkapan konflik, bukan penyebabnya. Kondisi yang mencerminkan dunia pasca runtuhnya komunis adalah dominasi (hegemoni) pandangan dunia Barat dalam ruang lingkup ekonomi dan politik yang didasarkan pada tiga prinsip fundamental, yaitu: pertama, kapitalisme dan ekonomi pasar; kedua, hak-hak asasi manusia dan demokrasi sekular-liberal; ketiga, negara kebangsaan sebagai kerangka bagi hubungan internasional. Fuller berharap munculnya sebuah ideologi di Dunia Ketiga yang menentang nilai-nilai Barat. Menurut Fuller, jalan ideologi yang akan datang melawan Barat tergantung pada tipe para pemimpin yang muncul sebagai pembela kepentingan negara. Fuller menempatkan Cina, India, Iran, Mesir, Rusia (termasuk Indonesia, Brazil dan Afrika Selatan) di bagian depan daftar negara yang dipastikan memainkan peran utama dalam perjuangan ideologis melawan hegemoni Barat.
Dikotomi Barat-Islam dewasa ini mencuat kembali menurut Munoz (dalam Esposito, 2002:3), karena akibat persepsi yang timbul dari pembagian dunia pasca-Perang Dingin ke dalam Timur dan Barat. Dalam pencariannya terhadap lawan baru sejak akhir tahun 1980-an, Barat telah memilih untuk melawan Islam, dengan mengangkat kembali isu-isu budaya sebagai pemicu konflik. Mengutip Arkoun, Munoz (Esposito, 2002: 5) menjelaskan, bahwa menguatnya persepsi dikotomis Barat-Islam karena adanya interpretasi historis yang difokuskan pada prinsip ideologi antagonisme (misalnya: Bizantium vs Kekaisaran Islam, Kerajaan Kristen vs Andalusia, Turki Usmani vs Eropa, Nasionalisme Arab-Islam vs Barat dst.).
Persaingan hegemoni politik dan ekonomi antara dunia Kristen Abad Pertengahan dan Kekaisaran Arab-Islam ditafsirkan sebagai sebuah konfrontasi antarperadaban, yang menyebabkan kesadaran Barat memahami Islam sebagai lawan atau musuh. Sementara Kristen dan Yudaisme terintegrasi dengan Barat ke dalam peradaban Yudeo-Kristen, sedangkan Islam terpinggirkan. Prasangka-prasangka yang diciptakan oleh konfrontasi Islam dan Kristen di Spanyol dalam perang Salib atau perang melawan Turki merasuki kesadaran Barat secara mendalam. Di sinilah yang disebut oleh Munoz sebagai “kesalahan penafsiran sejarah” (lihat juga, Esposito, 2002:127-128).
Seacara metodologis ada kecenderungan yang salah di kalangan para peneliti dan analis yang mengukuhkan ideal-ideal Barat sebagai satu-satunya patokan (bencmark) dan menempatkannya secara berbeda dengan ideal-ideal Islam. Kecenderungan ini mengimplikasikan adanya simplifikasi atas perkembangan politik dan sosial di dunia Muslim dan menganggapnya sebagai tanda-tanda dari religiusitas yang ekstrem. Sekadar contoh, Revolusi Iran diasumsikan oleh Barat sebagai sebuah ungkapan fanatik dari cita rasa keagamaan, dengan mengabaikan semua faktor sosial, politik dan ekonomi yang menimbulkan gerakan revolusioner. Untuk alasan yang sama, fenomena Islam direduksi menjadi pemaksaan religius yang tidak rasional dan juga tidak dipertimbangkan mengapa ia muncul dan menyebar ke masyarakat, atau berpaling dari tatanan tradisional dalam pengertian sosiologis. Terorisme dan perang saudara, ketika melibatkan kaum Muslimin cenderung dijelaskan sebagai konsekuensi Islam itu sendiri (yang inheren dengan ajaran jihad-nya), bukan sebagai akibat dari setting politik dan sosio-ekonomi (Esposito, 2002:6).
Dalam pandangan fundamentalis Muslim, Amerika jauh dikhawatirkan ketimbang Uni Soviet (Rusia sekarang), karena pengaruh budaya dan ekonominya Amerika jauh melampaui Uni Soviet. Demikian pula, pasca Perang Dingin (Cold War), Amerika juga menganggap ideologi kelompok fundamentalis Muslim merupakan tantangan yang jauh membahayakan. Pendeknya menurut Daniel Pipe (1986:946), Amerika harus menghadapi rintangan yang lebih besar di bawah kelompok fundamentalis.
Dalam pandangan fundamentalis Muslim, Amerika dan sekutu-sekutunya, memiliki pengaruh budaya yang amat luas, misalnya: bahasa, gaya hidup, media massa (BBC, program televisi, musik, video game, komik, teks book dan seterusnya). Pada wilayah agama misalnya, Amerika mengeksport dua hal: Kristen (sebagai rival Islam tradisional) dan sekularisme (sebagai rival modern). Missionaris Kristen merupakan bayang-bayang besar bagi kalangan fundamentalis Muslim (Pipe, 1986:948).
Perang Dingin (Cold War) sudah dianggap memori, tetapi Amerika masih menghadapi resiko tinggi yang mereka sebut dengan Green Peril. Green dikonotasikan sebagai warna Islam, sementara Peril disimbolkan sebagai Muslim fundamentalis Timur Tengah. Fundamentalis Muslim ini dianggap sebagai gerakan revolusi agresif, militan, dan garang sebagaimana Bolshevik, Fascist dan Nazi yang anti demokrasi, anti-sekuler, otoriter dan segala macam stigma buruk lainnya. Inilah Perang Dingin Baru (The New Cold War) yang disebut Jurgensmeyer (lihat Jurgensmeyer The New Cold War: Religious Nationalism Confront the Scular State, University of California Press(1993), lihat pula Leon T. Hadar, Policy Analysis, The “Green Peril: Creating the Islamic Fundamentalist Threat).
Memang tidak mudah untuk menunjuk siapa yang memulai membangun image antagonisme ini. Di satu sisi, sebagian kaum Muslimin memandang Barat sebagai koloni yang harus dilawan, dan juga sebaliknya pada sisi yang lain, Barat memandang kaum Muslimin sebagai ancaman yang harus dihegemoni. Kalau Bernard Lewis mempertanyakan, mengapa muncul kelompok-kelompok Islam yang anti Amerika atau Barat? Padahal menurut Lewis, jika alasan mereka adalah karena persoalan kolonialisme dan imperialisme, maka tidaklah tepat, sebab Amerika tidak pernah menjajah negeri Muslim. Sebetulnya yang harus menuntut dan paling anti Amerika, menurut Lewis, adalah Vietnam dan Kuba yang memang dijajah (Jainuri et.al. 2003: 328). Alasan Lewis ini naif, karena ia hanya melihat penjajahan dalam bentuk fisik, dan cenderung apologetik, karena sudah jelas bahwa apa yang dilakukan oleh Amerika dan para sekutunya (negera Barat) dalam menghegemoni Iraq misalnya, sudah sangat mencolok.
Menurut pengamat politik Timur Tengah, Riza Syihbudi, bahwa tudingan Amerika terhadap kelompok garis keras (Islam) sebagai teroris merupakan lagu lama yang selalu diulang-ulang. Setiap ada kekerasan dan teror selalu dikaitkan dengan orang-orang Arab, Timur Tengah dan Islam. Persoalan ini sudah menjadi opini publik yang dibangun melalui penguasaan media massa oleh kelompok Zionis Amerika (Jawa Pos, 16/09/2001). Bahkan kecurigaan itu kini sudah meluas ke Indonesia, sebagai negara yang mayoritas berpenduduk muslim.
Hegemoni Barat terhadap Islam di Timur memang sudah sedemikian kuatnya, sehingga memasuki relung-relung kehidupan: ekonomi, politik, budaya dan agama. Sebagaimana yang dikatakan oleh Binder (Khalid bin Sayyed, 1995: 5-6), bahwa tidak ada wilayah budaya yang mencemaskan mengenai ancaman penetrasi budaya dan peradaban, dan simbol sentral kegelisahan ini adalah Islam dengan otentisitas dan identitasnya.
Dalam konteks relasi antara peristiwa musibah kemanusiaan di WTC, AS. tidak tepat jika Islam selalu dikaitkan dengan teror dan kekerasan. Sebab persoalan ini harus dilihat secara makro dalam konstalasi politik global dunia dan khususnya Amerika yang memang dikenal sebagai negara adidaya yang penuh arogansi dan kesewenang-wenangan. Apakah tidak mungkin, jika pelaku sadis kemanusiaan yang terjadi di Amerika itu dilakukan oleh orang dalam sendiri yang memang kecewa terhadap kebijakan politik dalam negeri AS? Adilkah jika Amerika begitu mudah menuduh kelompok Islam, termasuk Indonesia? Sementara Amerika sendiri telah melakukan tekanan dan embargo terhadap negara lain seperti Iraq dan beberapa negara Timur Tengah lainnya? Jelas sikap Amerika ini merupakan sentimen Barat dan termasuk bagian dari imperialisme baru (neo-imperialism).











__________________
*Penulis adalah Doktor dalam Bidang Pemikiran Modern Islam.








REFERENSI



Bruinessen, Martin Van (1992). Muslim Fundamentalism: Can it be Understood or Should be Explained a Way, Makalah.

Donohue, John J dan John L Esposito, (1982). Islam in Transition: Muslim Perspective, New York: Oxford University.

Eicklelman, Dale F. dan James Piscatori (1996). Ekspresi Politik Muslim, Bandung: Mizan.

Huntington, Samuel P. (1993). The Clash of Civilization. dalam Foreign Affairs, vol. 72, 3, Musim Dingin.

Huntington, Samuel P. (2003). Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, Yogyakarta: Qalam.

Jainuri, Ahmad, et.al. (2003) .Terorisme dan Fundamentalisme Agama, Malang: Bayu Media,

Jauhari et.al. eds. (1999). Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan Modernisme, Surabaya, al-Fikr.

Jawa Pos, 16/ 09/ 200; 19/12/2003.
Jurgensmeyer, Mark, (1993). The New Cold War: Religious Nationalism Confront the Scular State, University of California Press.

L. Esposito, John (2002). Dialektika Peradaban: Modernisme Politik dan Budaya di Akhir Abad ke-20, Yogyakarta: Qalam.

Martin, Richard C., “Islam and Religious Studies: An Inroductory Essay” dalam Martin, Richard C. (ed.) .1985. Approaches To Islam In Religious Studies. The University of Arizona Press.

Marty E. dan Appelby, (1991). Fundamentalism and the State. University of Chicago Press.

Ritzer, George (1988). Contemporary Sociological theory (New York: Alfred A. Knopf).

Sayyed, Bobby S. (1997). A. Fundamental Fear: Eurocentrism and the Emergence of Islamism, London & New York: Zed Book Ltd.

Sayyed, Khaled (1995). Western Dominance and Political Islam, State University of New York Press.

Soroush, Abdul Karim (2002). Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, Bandung: Mizan.

Tibi, Bassam, (1998). The Challence of Fundamentalism: political Islam and the New World Disorder, University of California Press.

Mochtar Pabotinggi, peny. (1986). Islam Antara Visi, Tradisi dan Hegemoni Bukan-Muslim, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Nezar Patria dan Andi Arief (1999). Antoni Gramsci: Negara dan Hegemoni Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rabu, 20 Agustus 2008

Agama Pop

DARI LOCAL WISDOM MENUJU TOLERANSI BERAGAMA
Oleh: M. Zainuddin



Suatu hari penulis berkesempatan jalan-jalan ke suatu daerah, tepatnya di Madiun. Di sebuah warung sangat sederhana yang biasa dipakai mangkal orang-orang kecil, penulis ngopi dan minta dibuatkan supermi rebus kepada Ibu pemilik warung tersebut. Di warung itu sudah ada beberapa kerumunan orang yang sedang ngopi dan merokok. Layaknya orang kecil pada umumnya yang familier dan suka bagek (menanyakan keadaan kita, asal dari mana dsb), mereka ngobrol ke sana ke mari. Dari obrolan tersebut ada yang sangat mengagumkan bagi penulis.
Pak Sadimin, demikian nama sebenarnya, dia orang asli Madiun, sosok yang sudah cukup umur, tetapi gaya bahasa dan semangatnya luar biasa. Tidak kalah dengan orang-orang muda sekarang yang terpelajar. Sebagai seorang sopir --menurut pengakuanya-- dia sudah pernah keliling ke berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Jawa hingga luar Jawa. Dari pengalamannya itulah kemudian dia banyak tahu soal karakteristik orang dari berbagai etnis. Termasuk penulis cepat kenal karena dia nyletuk berbahasa Madura dengan salah satu rekannya yang berada di luar warung itu. Penulis kemudian bertanya: ”Kok bisa berbahasa Madura Pak?” Dia ketawa, dan mulai dari sinilah kemudian dia banyak bercerita soal keberadaan etnis Indonesia dan keunggulan orang Jawa, termasuk cerita tentang ’keberagamaan orang Jawa’. Selanjutnya dia menuturkan: ”Sebetulnya, orang Jawa itu orang yang memiliki kedudukan tinggi di mata bangsa-bangsa di dunia. Orang Jawa itu sebelum kedatangan agama-agama di dunia ini sudah memiliki kepribadian yang unggul. Para orang tua kita dulu sakti-sakti”.
Seperti pada umumnya cerita orang kuno yang lain, dia juga menegaskan, bahwa para orang tua kita dulu adalah orang yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Dia mencontohkan, orang tua kuno dulu ”ngunduh” kelapa saja tanpa dipanjat, tetapi cukup di-pandeng (dipandang kuat) saja sudah pada rontok. Cerita begini ternyata sudah membiasa (membudaya) di kalangan para orang tua kuno di lingkungan kita. Sambil mempercayai tutur katanya, penulis lalu bertanya: ”Oh ya Pak, kenapa sampai begitu ya, apa yang menyebabkan mereka seperti itu Pak (digdoyo)?”. Jawabnya tegas: ”Karena mereka orang jujur, semua ucapan dan tindakannya benar, dan hati mereka bersih”. Dengan jawaban seperti itu penulis terus merenung dan merenung, sambil berkata dalam hati: ”Betul juga orang ini”. Orang sekarang, menurutnya, tidak banyak yang jujur, badut semua, ”seperti yang di TV-TV itu lo Mas”, katanya. Orang sekarang, sambungnya, apa yang diucapkan tidak sesuai dengan tindakannya, banyak yang suka ngapusi, korupsi.
Pak Sadimin juga menyinggung soal agama. Menurut dia, semua agama itu baik, tidak Islam, Kristen, Hindu, Budha atau apa saja. Yang tidak baik itu oknumnya, mereka tidak menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang baik itu. Maka tidak benar, jika orang beragama itu saling cekcok dan bentrok. Apalagi jika kemudian yang bentrok itu antara Islam dan Kristen, karena dua agama itu serumpun dan dari asalnya yang sama, yaitu Nabi Ibrahim, Abraham. ”Terus terang Mas, saya ini orang Kristen, tetapi saya tidak membeda-bedakan antara agama ini dan itu. Keluarga saya campuran. Ada yang Islam, Kristen dan juga ada yang Hindu. Menantu saya juga ada yang keturunan Cina. Mase percaya, bapak saya itu orang pesantren, ibu saya Kristen. Tetapi semuanya rukun-rukun saja, tidak ada masalah dengan perbedaan antaragama. Bagi saya, yang penting orang beragama itu harus menghayati dan mengamalkan ajaran agama, membersihkan hati, soal masuk surga atau neraka itu urusan nanti, di akhirat. Jadi, saya ini ’nasionalis’ Mas.” Lanjut Pak Sadimin, ”seharusnya manusia itu seperti suku kata”, artinya, kata-kata itu tidak akan menjadi sebuah kata tanpa ada huruf. Oleh sebab itu huruf-huruf tersebut mesti disatukan, terangkai, sehingga menjadi sebuah suku kata, misalnya kata ”Madiun” tidak akan menjadi sebuah kata jika tidak ada kesatuan huruf-huruf tersebut. Demikanlah seharusnya manusia itu bermasyarakat, demikian tuturnya bersemangat.
Sebetulnya masih banyak tuturnya yang mengandung kebenaran dalam konteks ”pemahaman keberagamaannya”. Intinya, bahwa beragama itu yang diukur bukannya simbol-simbol yang bersifat lahiriah, namun keberagamaan seseorang itu harus mengejawantah dalam pribadi-pribadi yang saleh. ”Orang sekarang lebih menonjolkan pepaes-nya, hiasannya dari pada isi”. Itulah yang menipu kita, tegasnya. Lalu, Pak Anam, teman ngobrol di warung itu juga membenarkan penuturan Pak Sadimin yang panjang lebar itu. Dia kemudian juga menyontohkan keluarganya sendiri yang tidak akur satu sama lain. ”Iya Pak, dulu keluarga saya itu rukun dan sering berkunjung satu sama lain. Tetapi sejak mereka menganut aliran-aliran itu mereka menjadi jauh dan tidak akur satu sama lain. Keluarga saya itu ada yang NU, ada yang Muhammadiyah dan ada yang mengikuti aliran Islam garis keras”, tandasnya. Penulis sendiri dalam obrolan ini lebih banyak mendengarkan dan beberapa kali bertanya kepada mereka. Dalam konteks kehebatan orang Jawa kuno misalnya, penulis menanyakan kepada Pak Sadimin: ”Orang-orang tua dulu itu agamnya apa Pak?” Jawabnya: ” Ya agama Jawa asli, wong dulu itu Islam dan Kristen belum berkembang. Jadi mereka itu orang Jawa murni yang memegang teguh budaya Jawa”.

Inti Keberagamaan
Tutur polos Pak Sadimin demikian itu mengingatkan penulis pada jajaran para filsuf zaman Yunani 600 SM silam, yaitu orang-orang yang hidup pada masa sebelum Nabi Isa dan Nabi Muhammad. Mereka itu adalah orang-orang bijak pada zamannya yang memiliki pandangan mendalam (radikal) jauh ke depan. Sebut saja misalnya Thales, seorang filsuf pertama Yunani dalam jajaran filsuf kosmosentris. Dia mengatakan, bahwa asal muasal kejadian alam semesta ini adalah “air”. Ternyata pendapat Thales tersebut benar dalam perspektif ilmu pengetahuan modern. Bahkan dalam al-Qur’an pun ternyata disebutkan, bahwa Tuhan menjadikan segala sesuatu di alam ini berasal dari air (periksa Q.S. al-Anbiya’: 30). Itulah kemudian, sebagian ahli ada yang mengatakan, bahwa para filsuf zaman Yunani kuno ini dianggap sebagai Nabi, karena pendapatnya yang banyak mengandung kebenaran. Ya, bisa saja Nabi dalam pengertian orang bijak yang membawa “kabar” kebenaran.
Nabi Muhammad sendiri diutus ke bumi ini untuk memperbaiki moralitas bangsa, sebagaimana yang ditegaskan sendiri dalam hadisnya. Jadi, agama itu harus bermuara pada moralitas, etika sosial yang memberikan nilai kemanfaatan pada orang lain. Para orang tua dulu yang dituturkan Pak Sadimin itu, dan juga para filsuf zaman Yunani kuno adalah orang-orang yang memiliki kepribadian dan wibawa yang tinggi di masyarakatnya. Mereka menjadi panutan (uswah dan qudwah) para pengikutnya. Inilah yang disebut “local-wisdom”. Apa yang mereka kerjakan sesuai dengan niat tulusnya. Perilaku seperti inilah yang jarang ditemukan pada tokoh-tokoh kita sekarang ini.
Pak Sadimin sendiri termasuk orang yang masih mengikuti jejak orang kuno atau paling tidak masih mewarisi tradisi ”local-wisdom”-nya. Dalam konteks pemahaman dan sikap keberagamaannya, dia bisa dikelompokkan dalam kategori pluralis. Ketika dia mengatakan, bahwa manusia itu seharusnya seperti ”suku kata” yang harus dihimpun dari huruf-huruf, mengingatkan penulis seperti yang di-dawuh-kan oleh Kanjeng Nabi Muhammad saw., bahwa posisi orang beriman diantara orang beriman yang lain itu ibarat sebuah bangunan yang satu sama lain saling megokohkan, atau seperti kumpulan gigi manusia yang jika salah satunya sakit, maka yang lain juga merasakan sakitnya.
Memang dalam urusan keberagamaan, kita harus mampu memilah-milah, mana dimensi internal dan mana dimensi eksternalnya. Keduanya harus kita tempatkan sesuai proporsinya. Dalam hal ini penulis teringat pada al-’allamah Thabathabai. Dia mengatakan, bahwa ketika absolutisitas diantar ke luar (ke dunia nyata), Nabi tidak diperintahkan untuk menyatakan apa yang ada di dalam (keyakinan tentang absolutisitas agama tersebut), tetapi justru sebaliknya. Itulah sebabnya menurut Quraish Shihab, bahwa salah satu kelemahan manusia adalah semangatnya yang menggebu-gebu, sehingga ada di antara mereka yang bersikap melebihi Tuhan, misalnya menginginkan agar seluruh manusia satu pendapat, menjadi satu aliran dan satu agama. Semangat yang menggebu-gebu ini pulalah yang mengantarkan mereka memaksakan pandangan absolutnya untuk dianut orang lain.
Dalam konteks ini ada kasus menarik yang pernah dialami oleh Nabi Muhammad, yaitu ketika kaum musyrik bersikeras menolak ajaran Islam, maka demi kemaslahatan bersama Tuhan memerintahkan kepada Nabi untuk berkata kepada mereka: “….Tuhan kelak akan menghimpun kita semua, kemudian Dia memberi keputusan diantara kita dengan benar. Sesungguhnya Dia Maha Pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui.” (Lihat QS. 34:26). Konflik antarumat beragama yang terjadi selama ini, disebabkan oleh ketidakmampuan mereka dalam menempatkan sisi-sisi ajaran tersebut. Orang beragama lebih banyak menonjolkan identitas dari pada isi dan sisi kemanusiaan universalnya. Orang beragama sibuk meng-agama-kan orang lain secara kuantitas dari pada membangun moralitas, orang beragama bangga dengan banyaknya jumlah tempat ibadah, dan pada gilirannya umat beragama juga puas jika mereka sudah berhasil mendistkreditkan agama lain. Walla>hu A'lam Bi al-Shawa>b.